Sabtu, 04 Juni 2011

makalah filsafat 'kebenaran'

BAB I
PENDAHULUAN
Pengetahuan (knowledge atau ilmu )adalah bagian yang esensial- aksiden manusia, karena pengetahuan adalah buah dari “berpikir “. Berpikir ( atau natiqiyyah) adalah sebagai differentia ( atau fashl) yang memisahkan manusia dari sesama genus-nya,yaitu hewan. Dan sebenarnya kehebatan manusia dan ” barangkali ” keunggulannya dari spesies-spesies lainnya karena pengetahuannya. Kemajuan manusia dewasa ini tidak lain karena pengetahuan yang dimilikinya. Lalu apa yang telah dan ingin diketahui oleh manusia ? Bagaimana manusia berpengetahuan ? Apa yang ia lakukan dan dengan apa agar memiliki pengetahuan ? Kemudian apakah yang ia ketahui itu benar ? Dan apa yang mejadi tolak ukur kebenaran ?
Pertanyaan-pertanyaan di atas sebenarnya sederhana sekali karena pertanyaan-pertanyaan ini sudah terjawab dengan sendirinya ketika manusia sudah masuk ke alam realita. Namun ketika masalah-masalah itu diangkat dan dibedah dengan pisau ilmu maka tidak menjadi sederhana lagi. Masalah-masalah itu akan berubah dari sesuatu yang mudah menjadi sesuatu yang sulit, dari sesuatu yang sederhana menjadi sesuatu yang rumit (complicated). Oleh karena masalah-masalah itu dibawa ke dalam pembedahan ilmu, maka ia menjadi sesuatu yang diperselisihkan dan diperdebatkan. Perselisihan tentangnya menyebabkan perbedaan dalam cara memandang dunia (world view), sehingga pada gilirannya muncul perbedaan ideologi. Dan itulah realita dari kehidupan manusia yang memiliki aneka ragam sudut pandang dan ideologi.
1.1. LATAR BELAKANG

Apakah kriteria kebenaran? Apakah kriteria bahwa suatu pernyataan adalah benar?; Suatu pernyataan adalah benar jika sesuai dengan fakta; A criterion of truth is “correspondence with reality.”; Ini adalah teori korespondensi. Menurut teori ini, “suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut” (Jujun, 1984: 57). Dalam proses pembuktian secara empiris (pengumpulan fakta-fakta) untuk mendukung kebenaran suatu pernyataan
Apakah kriteria kebenaran?: Suatu pernyataan adalah benar jika berhubungan secara logis dengan pernyataan yang lain; Ini adalah teori koherensi. Menurut teori ini, “suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar” (Jujun, 1984: 55). Termasuk ke dalam teori ini adalah kebenaran matematika (mathematical truth) dan logika deduktif (Scruton, 1996: 239)

1.2. TUJUAN PENULISAN

1. Mengetahui teori tentang kebenaran
2. Mengetahui dan memahami apa itu asal dan gagasan positivisme logis
3. Memahami tentang positivisme di dalam ilmu pengetahuan
BAB II
KEBENARAN

2.1. PENGERTIAN KEBENARAN

Apakah kriteria kebenaran? Apakah kriteria bahwa suatu pernyataan adalah benar?; Suatu pernyataan adalah benar jika sesuai dengan fakta; A criterion of truth is “correspondence with reality.”; Ini adalah teori korespondensi. Menurut teori ini, “suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut” (Jujun, 1984: 57). Dalam proses pembuktian secara empiris (pengumpulan fakta-fakta) untuk mendukung kebenaran suatu pernyataan

1. Kebenaran (Truth)
1. Pernyataan yang benar.
Apakah makna “benar” dalam kalimat di atas?
Contoh pernyataan (statement):Dian belajar filsafat; Buku di atas meja ;
Ali adalah orang Islam.
2. Tanya-jawab.
Apakah kamu orang Banjar?; Benar, Saya orang Banjar; Benar bahwa
Saya orang Banjar.
Bahwa Saya orang Banjar adalah benar.
3. Apakah pernyataan yang benar?
Jika suatu keadaan memang terjadi, dan kita menyatakannya demikian,
maka pernyataan kita adalah benar.
Contoh:
Pernyataan “Saya orang Banjar” adalah benar jika Saya memang orang
Banjar.
Pernyataan “Buku di atas meja” adalah benar jika buku memang di atas
meja.
4. Apakah pernyataan yang benar?: Pernyataan yang benar adalah
pernyataan yang mengungkapkan fakta.
Contoh: Rumput adalah hijau; Pernyataan adalah bahasa, sedangkan
fakta adalah keadaan di dunia (di luar bahasa)
5. Pertanyaan “Apakah suatu pernyataan adalah benar?” adalah berbeda
dengan pertanyaan “Bagaimana kita mengetahui bahwa suatu
pernyataan adalah benar?”
Contoh: Cara kita mencari kebenaran “70 + 30 = 100” adalah berbeda Dengan cara kita mencari kebenaran bahwa “Buku di atas meja”, “Semua harimau adalah karnivora” , “Semua mahasiswi IAIN memakai jilbab.”
Contoh:
1. Kebenaran matematika
1 + 11 = 12; 2 + 10 = 12; 3 + 9 = 12; 4 + 8 = 12; 5 + 7 = 12; 6 + 6 = 12
2. Logika deduktif
Semua Mahasiswa IAIN beragama Islam
Johanes adalah mahasiswa IAIN
Johanes adalah beragama Islam
Apakah kriteria kebenaran?: Suatu pernyataan adalah benar jika berhubungan secara logis dengan pernyataan yang lain; Ini adalah teori koherensi. Menurut teori ini, “suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar” (Jujun, 1984: 55). Termasuk ke dalam teori ini adalah kebenaran matematika (mathematical truth) dan logika deduktif (Scruton, 1996: 239)

2.2. PENGERTIAN POSITIVISME

Teori Positivisme Logikal Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang mengalami banyak perubahan mendasar dalam perjalanan sejarahnya. Istilah Positivisme pertama kali digunakan oleh Francis Biken seorang filosof berkebangsaan Inggeris. Ia berkeyakinan bahwa tanpa adanya pra asumsi, komprehensi-komprehensi pikiran dan apriori akal tidak boleh menarik kesimpulan dengan logika murni maka dari itu harus
melakukan observasi atas hukum alam. Istilah ini kemudian juga digunakan oleh Agust Comte dan dipatok secara mutlak sebagai tahapan paling akhir sesudah tahapan-tahapan agama dan filsafat. Agust Comte berkeyakinan bahwa makrifat-makrifat manusia melewati tiga tahapan sejarah: pertama, tahapan agama dan ketuhanan, pada tahapan ini untuk menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi hanya berpegang kepada kehendak Tuhan atau Tuhan-Tuhan; tahapan kedua, adalah tahapan filsafat, yang menjelaskan fenomena-fenomena dengan pemahaman- pemahaman metafisika seperti kausalitas, substansi dan aksiden, esensi dan eksistensi; dan adapun Positivisme sebagai tahapan ketiga, menafikan semua bentuk tafsir agama dan tinjauan filsafat serta hanya mengedepankan metode empiris dalam menyingkap fenomena-fenomena. Pada tahun 1930 M, istilah Positivisme berubah lewat kelompok lingkaran Wina menjadi Positivisme Logikal, dengan tujuan menghidupkan kembali prinsip tradisi empiris abad ke 19. Lingkaran Wina menerima pengelompokan proposisi yang dilakukan Hume dengan analitis dan sintetis, dan berasaskan ini kebenaran proposisi-proposisi empiris dikategorikan bermakna apabila ditegaskan dengan penyaksian dan eksperimen, dan proposisi-proposisi metafisika yang tidak dapat dieksprimenkan maka dikategorikan sebagai tidak bermakna dan tidak memiliki kebenaran. Kesimpulan pandangan ini adalah agama dan filsafat (proposisi-proposisi agama dan filsafat) ambiguitas dan tidak bermakna, karena menurut kaum positivisme syarat suatu proposisi memiliki makna adalah harus bersifat analitis, yakni predikat diperoleh dari dzat subyek kemudian dipredikasikan atas subyek itu sendiri dan kebenarannya lahir dari proposisi itu sendiri serta pengingkarannya menyebabkan kontradiksi, atau mesti bersifat empiris, yakni melalui proses observasi dan pembuktian Dengan demikian, sebagaimana ungkapan Kornop ? salah seorang anggota dari Lingkaran Wina ? dalam suatu risalah berjudul "Menolak metafisika dengan analisis logikal teologi", kalimat-kalimat yang mengungkapkan perasaan(affective), seperti: alangkah indahnya cuaca! Atau pertanyaan, seperti: Di manakah letak kota Qum? Atau kalimat- kalimat perintah, metafisika dan agama, karena kalimat-kalimat dan proposisi-proposisi tersebut tidak melewati proses observasi dan eksprimen maka serupa dengan proposisi-proposisi yang tidak benar (bohong) Kaum Positivisme, seiring dengan perjalanan waktu, mengubah pandangannya yang ekstrim dan perlahan-lahan tidak menegaskan kemestian pembuktian dan eksperimen dalam menguji kebenaran suatu proposisi dan bahkan eksprimen tidak lagi dijadikan tolok ukur kebenaran proposisi. Mereka menyadari bahwa jika tolok ukur kebenaran (memiliki makna) proposisi-proposisi adalah melewati proses pembuktian dan eksperimen, maka sangat banyak proposisi-proposisi empiris yang tidak akan bermakna (tidak benar), karena tidak dapat dibuktikan secara yakin (100%). Mazhab filsafat ini dalam bagian lain mengakui bahwa manusia tidak mampu menyingkap hakikat realitas ? dalam bentuk pembuktian, penegasan, dan bahkan pembatalan ? tetapi hanya sebatas pemuasan.

Kesimpulan

Pengetahuan (knowledge atau ilmu )adalah bagian yang esensial- aksiden manusia, karena pengetahuan adalah buah dari “berpikir.

Berpikir ( atau natiqiyyah) adalah sebagai differentia ( atau fashl) yang memisahkan manusia dari sesama genus-nya,yaitu hewan.

Suatu pernyataan adalah benar jika berhubungan secara logis dengan pernyataan yang lain; Menurut teori ini, “suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar”

Teori Positivisme Logikal Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang mengalami banyak perubahan mendasar dalam perjalanan sejarahnya

Agust Comte berkeyakinan bahwa makrifat-makrifat manusia melewati tiga tahapan sejarah: pertama, tahapan agama dan ketuhanan tahapan kedua, adalah tahapan filsafat, yang menjelaskan fenomena-fenomena dengan pemahaman- pemahaman metafisika seperti kausalitas, substansi dan aksiden, esensi dan eksistens. dan adapun Positivisme sebagai tahapan ketiga, menafikan semua bentuk tafsir agama dan tinjauan filsafat serta hanya mengedepankan metode empiris dalam menyingkap fenomena-fenomena.

Pada tahun 1930 M, istilah Positivisme berubah lewat kelompok lingkaran Wina menjadi Positivisme Logikal, dengan tujuan menghidupkan kembali prinsip tradisi empiris abad ke 19. Kesimpulan pandangan ini adalah agama dan filsafat (proposisi-proposisi agama dan filsafat) ambiguitas dan tidak bermakna, karena menurut kaum positivisme syarat suatu proposisi memiliki makna adalah harus bersifat analitis, yakni predikat diperoleh dari dzat subyek kemudian dipredikasikan atas subyek itu sendiri dan kebenarannya lahir dari proposisi itu sendiri serta pengingkarannya menyebabkan kontradiksi, atau mesti bersifat empiris, yakni melalui proses observasi dan pembuktia

Pandangan kaum Positivisme adalah bahwa proposisi-proposisi agama yang karena tidak melewati observasi dan eksprimen maka tidak dikategorikan sebagai makrifat dan pengetahuan yang bermakna (baca: proposisi agama tidak benar) dan bahasa agama karena tidak dapat dibuktikan kebenarannya secara eksprimen, maka tidak menjadi makna yang dapat diperhitungkan.

0 komentar:

Posting Komentar

tianahalawa. Diberdayakan oleh Blogger.