Minggu, 28 Oktober 2012

KEWAJIBAN PEMBUKUAN/PENCATATAN DAN PEMERIKSAAN PAJAK


Pembukuan dalam perpajakan dimaksudkan untuk mempermudah pengisian Surat Pemberitahuan (SPT), penghitungan Pengusaha Kena Pajak (PKP), dan Penghitungan PPN dan PPnBM, yang pada dasarnya untuk mengetahui posisi keuangan. SPT sendiri merupakan sarana bagi Wajib Pajak (WP) untuk melaporkan semua kegiatan usahanya dalam periode tertentu. SPT yang dihasilkan merupakan alat bantu komunikasi antara fiskus dan WP.

SPT juga merupakan obyek pemeriksan pajak sehingga sebaiknya tidak menyajikan informasi-informasi yang salah, yang dapat merugikan baik dari pihak fiskus ataupun pihak wajib pajak. Wajib Pajak yang melakukan pembukuan, diminta untuk melampirkan SPT tahunan PPh WP Badan sedangkan bagi WP orang pribadi, hanya yang diwajibkan dalam Undang-Undang saja yang wajib melakukan pembukuan. Bagi WP orang pribadi yang tidak melakukan pembukuan, wajib melakukan pencatatan dengan melampirkan Daftar/Perhitungan Penghasilan Bruto pada SPT tahunan PPh WP Orang Pribadi (WPOP).

Pembukuan dan pencatatan yang terorganisir dapat membantu Wajib Pajak dalam menyusun laporan keuangan dan mengisi SPT serta dapat membantu pertanggungjawaban WP jika terjadi pemeriksaan dan penyidikan pajak yang dilakukan oleh pihak fiskus.


PEMBUKUAN dan PENCATATAN

Pengertian pembukuan menurut pajak berbeda dengan pengertian menurut akuntansi. Jika dalam perpajakan, Pembukuan diartikan sebagai ”Proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan Barang atau Jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa Neraca dan Laporan Laba Rugi pada setiap Tahun Pajak berakhir” sesuai dengan Undang-Undang No.16 tahun 2000. Sedangkan menurut akuntansi, Pembukuan adalah ”kegiatan mengumpulkan, mencatat, meringkas data transaksi keuangan ke dalam buku atau catatan yang telah disediakan serta pengendalian proses akuntansi melalui prinsip pengendalian internal, pengukuran nilai transaksi ke dalam nilai moneter berdasarkan standar akuntansi yang berlaku dan penyajian hasil transaksi keuangan menjadi suatu informasi keuangan yang berguna bagi pengambil keputusan.

Yang wajib melakukan pembukuan sesuai Undang-Undang yang berlaku, UU KUP pasal 28 ayat 1 adalah Wajib Pajak Badan dan Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas. Kriteria kesiapan wajib pajak dalam melakukan pembukuan diukur dari jumlah peredaran usahanya. Karena peredaran usaha ini menunjukkan skala aktivitas perusahaan yang dianggap merupakan ukuran yang paling dapat diterima untuk menentukan kesiapan Wajib pajak tersebut dalam melakukan pembukuan.

II. 1. SYARAT-SYARAT PEMBUKUAN

Adapun syarat-syarat pembukuan adalah sebagai berikut:
1. Pembukuan harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah dan disusun dalam Bahasa Indonesia atau dalam Bahasa asing yang dijinkan oleh Menteri Keuangan;
2. Pembukuan harus meliputi seluruh kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang dilakukan Wajib Pajak;
3. Pembukuan harus dilakukan secara teratur, tepat waktu, terinci dan taat asas yaitu menggunakan stelsel kas atau stelsel akrual;
4. Pembukuan harus didukung dengan bukti-bukti transaksi yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya dan keabsahannya;
5. Pembukuan harus dapat ditelusuri kembali apabila diperlukan, jadi data-data yang ada sebaiknya disimpan selama 10 tahun;
6. Pembukuan harus ditutup dengan membuat neraca dan perhitungan rugi laba pada setiap akhir tahun pajak.

Sesuai dengan Pasal 28 ayat 3 UU KUP, pembukuan atau pencatatan harus dibuat dengan itikad baik dan harus mencerminkan keadaan usaha yang sebenarnya. Pembukuan yang benar memenuhi kriteria yaitu, betul, bebas dari kesalahan, sesuai dengan keadaan sebenarnya dan dapat diandalkan.

Wajib pajak dapat membuat pembukuannya dalam bahasa asing atau mata uang selain rupiah, diantaranya adalah wajib pajak yang tergolong:
 Dalam rangka penanaman modal asing;
 Dalam rangka kontrak karya pertambangan;
 Dalam rangka kontrak bagi hasil pertambangan/ pengeboran;
 Yang berafiliasi dengan perusahaan induk di Luar Negeri;
 Badan Usaha Tetap (BUT).

Syarat-syarat bagi wajib Pajak diatas dalam melakukan pembukuan adalah
1. Menggunakan bahasa asing dan mata uang asing yang digunakan adalah bahasa Inggris dan mata uang dolar Amerika Serikat.
2. Bila ingin merubah atau menyajikan yang berbeda dari ketentuan diatas maka harus meminta ijin dari Menteri Keuangan.

PENCATATAN

Pencatatan yaitu pengumpulan data secara teratur tentang peredaran bruto dan atau penghasilan bruto sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang termasuk penghasilan yang bukan objek pajak dan atau yang dikenakan pajak yang bersifat final.

Pencatatan wajib dilakukan oleh wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran usaha kurang dari Rp. 600.000.000 setahun diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan norma dan Wajib pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas. Pencatatan sebaiknya dilakukan dalam satu tahun pajak yang meliputi 12 bulan. Keinginan wajib pajak dalam menyelenggarakan pencatatan wajib dilaporkan ke Dirjen Pajak.

NORMA PENGHITUNGAN PENGHASILAN NETO

Yang dimaksud dengan norma penghitungan ini adalah pedoman untuk menentukan penghasilan neto wajib pajak karena wajib pajak tersebut tidak dapat melakukan pembukuan.
Wajib pajak yang boleh menggunakan Norma Penghitungan adalah wajib pajak orang pribadi yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Peredaran bruto usahanya dalam setahun kurang dari 600 juta;
2. Memberitahukan kepada Dirjen Pajak dalam jangka waktu 3 bulan pertama dan tahun buku;
3. Menyelenggarakan pencatatan terhadap setiap jenis penghasilan netonya wajib pajak.

Bila wajib pajak tidak menyampaikan atau meberitahukan pilihannya, maka wajib pajak tersebut dianggap melakukan pembukuan.
Beberapa Wajib Pajak Badan sesuai dengan jenis usahanya akan menyajikan Norma Penghitungan Khusus yaitu bagi Perusahaan seperti berikut ini:
1. Perusahaan pelayaran dan penerbangan internasional.
2. Perusahaan asuransi luar negeri.
3. Perusahaan pengeboran minyak, gas dan panas bumi.
4. Perusahaan dagang asing.
5. Perusahaan yang melakukan investasi dengan pola bangun-guna-serah (build-operate-transfer).


PEMERIKSAAN PAJAK
Menurut Pasal 1 angka 25 UU KUP pemeriksaan merupakan serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan proforsional berdasarkan standar pemeriksaan.

TUJUAN PEMERIKSAAN
Untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

ISTILAH DALAM PEMERIKSAAN PAJAK
1. Pemeriksa lapangan yt. Pemeriksaan yang dilakukan ditempat kedudukan, tempat kegiatan usaha atau pekerja bebas, tempat tinggal WP atau tempat lain yang ditentukan oleh DJP
2. Pemeriksaan kantor yt. Pemeriksaan yang dilakukan di kantor DJP
3. Pemeriksa pajak yt. PNS dilingkungan DJP atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur JP yang diberi tugas, wewenang dan tanggung jawab untuk melaksanakan pemeriksaan.
4. Tanda Pengenal pemeriksa pajak
5. Surat Perintah pemeriksaan pajak
6. Pembukuan,
7. Data,
8. penyegelan,
9. Surat perintah hasil pemeriksaan
10. Pembahasan akhir hasil pemeriksaan
11. Tim Pembahas
12. Kertas kerja pemeriksaan
13. Penghasilan kena pajak tidak dapat dihitung
14. Laporan hasil pemeriksaan
15. Pemeriksaan ulang
16. Jangka waktu pembahasan akhir hasil pemeriksaan
17. Kuesioner dan pemeriksaan bukti permulaan.


SANKSI

Dalam prakteknya, tidak semua wajib pajak melakukan pembukuan atau pencatatn sesuai dengan yang diatur dalam Undang-Undang pajak Indonesia. Jika terjadi pemeriksaan atau penyidikan dan wajib pajak tidak dapat menunjukkan pembukuan atau pencatatan yang dilakukan maka sanksi yang dapat diberikan terbagi menjadi dua yaitu:
1. Sanksi Administratif.
 Mewajibkan sistem Norma Penghitungan dengan penerapan tarif tertentu tanpa melihat kembali apakah wajib pajak tersebut rugi atau untung;
 Memberikan sanksi bunga 2% per bulan kepada Wajib Pajak jika terdapat pajak yang tidak atau kurang bayar.
 Menyetor kembali PPN dan PPnBM terutang atau kurang bayar akibat kompensasi yang seharusnya tidak mendapat kompensasi tarif 0% ditambah kenaikan 100% dari jumlah yang kurang dibayar.
2. Sanksi Pidana
 Jika wajib pajak atau PKP terbukti tidak melakukan pembukuan atau pencatatan atau melakukan pemalsuan pencatatan atau pembukuan maka dapat diancam sanksi pidana penjara paling lama 6 tahun dan denda setinggi-tingginya 4 kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang bayar.

PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA

DEFINISI
 Berdasarkan UU no. 19 th 2000, penagihan pajak adalah serangkaian tindakan agar penanggung pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, atau menjual barang yang telah disita.
 Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban WP menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
 Penagihan seketika dan sekaligus adalah tindakan penagihan pajak yang dilaksanakan oleh juru sita pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran untuk seluruh jenis pajak termasuk biaya penagihan. Penagihan ini dilakukan dalam hal:
a) Penanggung pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya ataupun berniat untuk itu
b) Penanggung pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan ataupun pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia
c) Terdapat tanda tanda penanggung pajak melakukan pembubaran usaha, mengembangkan usaha, pindah tangan dan perubahan bentuk lainnya
d) Badan usaha akan dibubarkan negara
e) Terjadi penyitaan atas barang barang penanggung pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda tanda kepailitan
(UU no. 16 th 200 ada 3 syarat, namun UU No 19 Th 2000 terbaru mengajukan lima syarat)

1. DASAR PENAGIHAN
 Dasar yang dipakai dalam melakukan penagihan pajak adalah Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pembetulan, Surat Ketetapan Keberatan, Putusan Banding. Jangka waktu penagihan pajak umumnya adalah satu bulan setelah diterbitkan dolumen diatas yang merupakan dasar penagihan pajak dilakukan.
 Pada dasarnya besarnya utang pajak dihitung sendiri oleh wajib pajak kemudian apabila terdapat kekeliruan atau kesalahan dalam perhitungan pajak terutang tersebut maka Dirjen Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, atau surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan. Dalam hal tagihan pajak tersebut tidak dibayar pada tanggal jatuh tempo, penagihannya dapat dilakukan dengan surat paksa.

2. BUNGA PENAGIHAN
 Apabila wajib pajak kurang/ tidak membayar tagihan pada waktunya, mengangsur atau menunda pembayaran, maka dikenakan bunga sebesar 2% perbulan

3. PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA

 Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak
 Penagihan pajak oleh dirjen pajak dilakukan dengan penerbitan surat paksa apabila:
a. Penanggung pajak tidak melunasi utang pajak dan kepadanya telah diterbitkan surat teguran atau surat peringatan atau surat lain yang sejenis (SKPKB, SKPKBT, STP)
b. Terhadap penanggung pajak telah dilaksanakan penagihan seketika dan sekaligus atau
c. Penanggung pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam persetujuang angsuran atau penundaan pembayaran pajak
d. Surat paksa sekurang-kurangnya harus memuat nama wajib pajak, dasar penagihan, besarnya utang pajak, perintah untuk membayar
 Jika WP tetap tidak mau membayar pajaknya setelah dikeluarkan Surat Paksa, maka akan dikeluarkan SPMP (surat perintah melakukan penyitaan) dalam waktu 2x24 jam

4. TATA CARA PENAGIHAN PAJAK

Berdasarkan KMK No. 561/ KMK.04/2000 Dirjen pajak melakukan penagihan pajak dengan mekanisme sebagai berikut:

No Kegiatan Jgk wkt Keterangan
1 SKPKB,SKPKBT,STP,SK 1 bln stlh diterbitkan Membayar Utang pajak selama 1 bln sejak tanggal diterbitkannya putusan
2 Surat Teguran
(7 hr sth no 1) 21 hari Apabila tdk dilunasi dalam jangka wkt tsb maka akan diterbitkan Surat Paksa
3 Surat Paksa 2x24 jam Apabila tdk dilunasi dalam jangka wkt tsb maka akan dikeluarkan SPMP
4 SPMP (Srt perintah melakukan penyitaan) Paling cepat 14 hari Apabila tdk dilunasi dalam jangka wkt tsb maka akan dilakukan Pengumuman lelang.
5 Pengumuman Lelang Paling cepat 14 hari Apabila tdk dilunasi dalam jangka wkt tsb maka akan dilakukan penjualan secara lelang.
6 Penjualan secara lelang Lelang di usahakan dilakukan di tempat WP dan secara terbuka
7 Pemblokiran dan Penyitaan harta kekayaan penaggung pajak yang tersimpan di bank dg surat paksa KMK. 563/KMK.04/2000 Pemblokiran di beritahukan kpd pimp tempat harta hekayaan disimp disertai salinan SP dan SPMB
8 Penyitaan Sesuai KMK Pelaku adl juru sita pajak yg diangkat oleh men Keu (KMK 562/KMK.04/2000

5. PENYITAAN
DASAR HUKUM
Berdasarkan PP No 135 th 2000 tentang tata cara penyitaan dalam rangka penagihan pajak dengan surat paksa
PENGERTIAN
 Penyitaan adalah tindakan juru sita pajak untuk menguasai barang penaggung pajak guna dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajak menurut peraturan UU yang berlaku
 Penyitaan terhadap barang milik penanggung pajak dilaksanakan berdasarkan surat perintah pelaksanaan penyitaan yang diterbitkan oleh pejabat
 Penyitaan dilaksanakan apabila utang pajak tidak dilunasi dalam jangka waktu 2 x 24 jam terhitung sejak tanggal Surat Paksa diberitahukan kepada penanggung pajak
 Barang milik penanggung pajak yang dapat disita adalah barang yang berada di tempat tinggal, tempat usaha/ kedudukan, tempat lain termasuk yang penguasaanya berada di tangan pihak lain atau yang dijaminkan sebagai pelunasan tertentu yang dapat berupa :
a) Barang Bergerak: mobil perhiasan, deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu, obligasi, saham, atau surat berharga lainnya, piutang, dan penyertaan modal pada perusahaan lain; dan atau
b) Barang tidak bergerak: tanah, bangunan, dan kapal dengan isi kotor tertentu
 Penyitaan tambahan dapat dilakukan apabila nilai barang yang disita atau hasil lelang barang nilainya tidak cukup untuk melunasi biaya penagihan pajak
 Atas barang yang disita dapat ditempeli atau diberi segel sita

6. LELANG
PENGERTIAN
 Lelang adalah setiap penjualan barang dimuka umum dengan cara penawaran harga secara lisan atau tertulis melalui usaha pengumpulan peminat atau calon pembeli
 Pengumuman lelang dilaksanakan paling cepat 14 hari sejak penyitaan
 Penjualan secara lelang dilakukan melalui kantor lelang dan dilaksanakan paling cepat setelah jangka waktu 14 hari terhitung sejak pengumuman lelang
 Apabila dari jumlah lelang sudah mencukupi untuk melunasi pembayaran pajak maka sisa barang dikembalikan dan lelang dihentikan
 Besar biaya penagihan pajak adalah Rp. 50.000 untuk pemberitahuan surat paksa dan Rp. 100.000 untuk surat pelaksanaan penyitaan
Besarnya tambahan biaya penagihan pajak adalah: Secara lelang 1% dari pokok lelang, Tidak secara lelang 1% dari hasil penjualan
7. DALUARSA PENAGIHAN PAJAK
 Hak untuk melakukan penagihan pajak daluarsa setelah lampau waktu 10 tahun terhitung saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak bagian tahun pajak atau tahun pajak yang bersangkutan. Daluarsa 10 tahun tertangguh apabila:
a) Diterbitkan surat teguran dan surat paksa (daluarsa dihitung sejak tanggal penyampaian surat paksa tersebut
b) Ada pengakuan utang pajak dari wajib pajak baik secara langsung maupun tidak langsung berupa:
 Diterbitkannya surat teguran dan surat paksa (daluarsa dihitung sejak tanggal penyampaian surat paksa tersebut)
 Ada pengakuan utang pajak dan wajib pajak baik langsung maupun tidak langsung apabila:
 WP mengajukan permohonan angsuran dan penundaan pembayaran utang pajak sebelum tanggal jatuh tempo pembayaran
 WP mengajukan permohonan pengajuan keberatan
 WP melaksanakan pembayaran sebagian utang pajaknya
 Diterbitkann SKPKB atau SKPKBT daluarsa dihitung sejak tanggal penerbitan ketetapan pajak tersebut
KASUS TAGIHAN PAJAK
Kasus tagihan pajak atas PT Makindo Tbk senilai Rp 494 miliar bisa menjadi contoh menarik bagaimana sistem administrasi perpajakan di Indonesia dijalankan. Kasus seperti ini sangat mungkin juga terjadi pada wajib pajak lainnya.
Yang membedakan hanya skalanya, ada yang kena tagihan dalam jumlah sangat besar, ada yang relatif kecil. Wajib Pajak belum tentu bisa tidur nyenyak meski masa kedaluwarsa hampir terlampaui.

Ini yang menimpa Makindo. Surat ketetapan pajak (SKP) terbit pada 30 Oktober 2006. Jika SKP ini tidak terbit, .maka surat pemberitahuan tahunan yang disampaikan Makindo menjadi pasti pada akhir Desember 2006. Namun Dewi Fortuna tampaknya tak bersama Gunawan Yusuf, presdir Makindo.
Lima catatan Kembali ke kasus Makindo. Berdasarkan penjelasan manajemen Makindo kepada kepada PT Bursa Efek Surabaya maupun isi surat ketetapan pajak yang dikeluarkan Kantor Pelayanan Pajak Perusahaan Masuk Bursa paling tidak ada lima hal yang menarik untuk dibahas atau didiskusikan.

Pertama, soal kedaluwarsa. Dalam penjelasannya, Makindo menyatakan tagihan tersebut dikenakan untuk tahun buku 1996 yang sudah berselang 10 tahun lebih.

Dalam pembahasan RUU Pajak yang tengah berlangsung di DPR, batas kedaluwarsa diperpendek menjadi lima tahun. Sehingga jika UU ini kelak diberlakukan mulai 1 Januari 2008, maka surat pemberitahuan pajak untuk tahun pajak 2008 akan menjadi lampau pada 1 Januari 2014. Tapi untuk tahun pajak 2007, menjadi kedaluwarsa pada 1 Januari 2018. Sebab kewajiban pajak 2007 masih mengikuti UU Pajak 2000 yang masa kedaluwarsanya 10 tahun.
Untuk membahas poin ini, ada baiknya kita lihat bagaimana bunyi pasal dalam UU perpajakan. Pasal 13 angka (4) UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyatakan: Besarnya pajak terutang yang diberitahukan oleh wajib pajak dalam surat pemberitahuan (SPT) menjadi pasti...., apabila dalamjangka waktu sepuluh tahun sesudah saat tentangnya pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak, tidak diterbitkan surat ketetapan pajak.

Makindo mendapat SKP kurang bayar pada 31 Oktober 2006 dan jatuh tempo pembayaran adalah 30 November 2006. Jangka waktu kedaluwarsa dihitung sesudah berakhirnya tahun pajak. Sehingga argo mulai jalan per 1 Januari 1997 [bukan 1 Januari 1996]. Jika ditarik ke 10 tahun kemudian maka batas kedaluwarsa adalah 31 Desember 2006.

Artinya, penetapan SKP atas Makindo ini memang sudah masuk injury time, tapi masih dalam jangka waktu 10 tahun. Secara formal penerbitan SKP tersebut tetap sah.

Kedua, Makindo menyatakan SKP tersebut bukan keputusan final, tapi masih dalam proses. Penjelasan ini benar adanya. WP mempunyai hak untuk mengajukan keberatan ke Ditjen Pajak dalam jangka waktu tiga bulan sejak SKP diterbitkan. Ditjen Pajak sendiri harus memberi keputusan atas keberatan itu paling lambat 12 bulan.

Ditjen Pajak kabarnya akan mempercepat proses keberatan tersebut. Pekan lalu Dirjen Pajak Darmin Nasution dan jajarannya sibuk membahas permohonan keberatan Makindo ini. Kita lihat nanti, bagaimana keputusan Dirjen Pajak atas keberatan Makindo.

Dalam banyak kasus, Ditjen Pajak cenderung mempertahankan SKP yang dibuat oleh anak buahnya. Ada spirit kesatuan yang tidak bisa luntur begitu saja. Jadi meski ada koreksi, baik atas pokok utang pajak maupun sanksinya, biasanya tidak terlalu signifkan.

Jika Makindo bisa meyakinkan kantor pajak bahwa penetapan pajak tersebut salah, tentu tidak tertutup kemungkinan akan dilakukan koreksi atas utang dan sanksi tersebut.

Misalnya, Makindo harus bisa menunjukkan bukti-bukti yang memadai bahwa sejumlah private placementyang oleh kantor/pajak diklaim sebagai pendapatan Makindo adalah salah.
Tapi jika bukti-bukti tidak cukup, bisa jadi Makindo hanya bisa menikmati pengurangan yang tidak terlalu besar.

Berarti Makindo harus siap tempur di Pengadilan Pajak. WP memang didorong untuk maju ke Pengadilan Pajak dan jika perlu ke Mahkamah Agung untuk mengajukan peninjauan kembali (PK).

Bahkan ada satu Dirjen Pajak di masa lalu yang selalu menolak keberatan yang diajukan WP karena merasa conflict of interest.

Kala itu, kebijakan seperti ini, tidak masalah karena banding ke Majelis Per-4 timbangan Pajak (cikal bakal Peradilan Pajak) tidak ada kewajiban membayar sebagian atau seluruh utang pajak. Sehingga WP juga tidak masalah mengajukan , banding, apalagi di MPP ada perwakilan Kadin yang biasanya menjadi pelindung dunia usaha.

Surat paksa Kembali ke masalah SKP Makindo. Meski SKP ini sifatnya belum final, manajemen Makindo perlu memerhatikan surat paksa yang diterbitkan kantor pajak. Surat paksa adalah sarana bagi petugas pajak untuk melakukan penagihan seketika dan sekaligus.

Yang istimewa dari surat paksa adalah kedudukannya yang setara dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan mempunyai kekuatan eksekutorial. Setara putusan kasasi Mahkamah Agung.

Ketiga, soal tax clearance atau surat keterangan fiskal' (SKF). Selembar surat ini dulu menjadi salah satu syarat bagi perusahaan yang akan masuk bursa.

Kini kewajiban memperoleh SKF sudah dicabut oleh Darmin Nasution, setelah mantan ketua Bapepam itu duduk sebagai Dirjen Pajak.


Namun SKF bukan surat ketetapan pajak. Selembar kertas yang dikeluarkan oleh kantor pajak ini hanya menyebutkan bahwa perusahaan dalam status tidak punya utang pajak (berdasarkan SKP atau surat tagihan pajak) dan tidak dalam proses penyidikan karena dugaan tindak pidana pajak.
SKF sama sekali tidak mempunyai nilai hukum apa-apa di mata undang-undang pajak maupun undang-undang pasar modal.

Dengan demikian, apakah penerbitan SKF tidak menghilangkan hak fiskus untuk memeriksa pemenuhan kewajiban perpajakan WP dan menetapkan pajak terutang beserta denda dan sanksinya.

Keempat, kepentingan umum dan kepentingan negara. Di banyak negara, termasuk Indonesia, utang pajak mempunyai hak mendahului dibandingkan utang lainnya.

Pasal 21 UU KUP menyatakan negara mempunyai hak mendahului untuk tagihan pajak, yang mencakup pokok pajak, sanksi administrasi, denda, kenaikan dan biaya penagihan. Hak mendahulu ini hilang setelah melampaui dua tahun.

Dengan demikian siapapun di negara iniapalagi aparat negara-seharusnya mempunyai tanggung jawab untuk mengedepankan kepentingan negara.

Namun bila melihat pernyataan pejabat Bapepam-LK menyangkut kasus tagihan pajak Makindo ini, rasanya hak mendahului atas tagihan pajak kurang dipahami.

Ketua Bapepam-LK Fuad Rahmany kepada Bisnis menyatakan rencana go private Makindo tidak berarti perusahaan terlepas dari kewajiban pajaknya dan itu bukan kompetensi lembaga itu untuk membicarakan apakah mereka masih punya tunggakan pajak atau tidak.
Bapepam-LK, menurut dia, tidak bisa menggunakan alasan itu [tunggakan pajak] untuk menolak go private Makindo.

Lembaga ini tetap menyetujui rencana Makindo go private karena dinilai telah memenuhi persyaratan administratif dan menaati prosedur keluar dari bursa.

Pernyataan seperti ini jelas mengundang tanda tanya. Apalagi Bapepam-LK dan Ditjen Pajak yang sama-sama dalam asuhan Departemen Keuangan.

Bila ditarik ke belakang, misalnya dalam kasus Energi Mega Persada, Fuad melarang rencana spin off Lapindo Brantas dengan alasan untuk melindungi kepentingan pemegang saham minoritas atas melindungi kepentingan publik.

Jika kepentingan publik saja harus dilindungi, bagaimana soal utang pajak Makindoyang di dalamnya ada hak negara dijawab "bukan kompetensi kami untuk membicarakannya." Apakah kepentingan negara di bawah kepentingan publik?

Terakhir, soal NPWP Gunawan Yusuf. Gunawan disidik aparat pajak berdasarkan surat perintah penyidikan No. Prin-02-Dik/PJ.701/2003 tanggal 6 Maret 2003. Surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) dikirim oleh Direktur P4 Ditjen Pajak kepada Jaksa Agung melalui Kabid Korwas PPNS Bareskrim, Polri pada 7 Maret 2003.

Sebelumnya sumber Bisnis di Ditjen Pajak menyebutkan penyidikan terhadap Gunawan dihentikan karena dia sudah mempunyai nomor pokok wajib pajak (NPWP).

Namun, keterangan tersebut dibantah seorang pejabat senior di Ditjen Pajak. Dia menyatakan penyidikan tersebut tidak mungkin dihentikan kecuali ada permintaan dari Menteri Keuangan seperti diatur dalam Pasal 44B UU KUP.

Penyidikan, kata dia, tidak menghasilkan surat ketetapan pajak, melainkan berkas penuntutan perkara jika oleh kejaksaan atau kepolisian dianggap sudah lengkap (P21).

' "Bisa jadi penyidikan tersebut berjalan lambat, tapi bukan berarti dihentikan. NPWP atas nama Gunawan Yusuf terbit setelah penyidikan berjalan. Artinya, Ditjen Pajak bisa menggunakan pasal pidana perpajakan seperti diatur Pasal 39 UU KUP," kata sumber ini.
Ditjen Pajak kabarnya menetapkan nilai kerugian negara dalam kasus tersebut mencapai Rp 6 miliar.

Namun, angka ini belum pasti karena para penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) masih terus mengumpulkan bukti-bukti. (parwito@bisnis.co.id)
Oleh Parwito Wartawan Bisnis Indonesia

Sumber :Bisnis Indonesia, 06 Maret 2007

DAFTAR PUSTAKA

Waluyo, (2007), “Perpajakan Indonesia pembahasan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan dan aturan pelaksanaan perpajakan terbaru”, buku 1, edisi 6, Salemba Empat, Jakarta.

Mansyur, Muhammad, BAP dan Hadi Wardoyo, Teguh, SE, AK, (2005),“ Pajak Terapan Brevet A & B, pemahaman terapan dalam kerangka hokum pajak”, Tax Spesialist, Jakarta.

Mardiasmo, Prof, Dr, MBA, Ak, (2006), “Perpajakan” edisi Revisi 2006, Penerbit Andy Yogyakarta.

Bisnis Indonesia, Tanggal 06 Maret 2007

2 komentar:

kamal mengatakan...

i'm interest about you, because i'm following you, thanks for information abaout "Pembukuan dalam perpajakan"#YNWA @ash_shawaf on twitter

Unknown mengatakan...

thanks :)

Posting Komentar

tianahalawa. Diberdayakan oleh Blogger.