Tafsir ialah menjelaskan suatu makna di dalam Al-Qur`an , sedang yang bertindak menjelaskan ayat-ayat tersebut disebut mufassir. Dan salah satu bentuk penerapan yang dipakai para ulama dalam menafsirkan dengan cara al-matsur (riwayat). Nabi Muhammad yang merupakan mufassir pertama, menyampaikan Al-Qur`an sekaligus menjelaskannya kepada umat sebagaimana yang diterangkan dalam surat an-Nahl: 44
بِٱلۡبَيِّنَـٰتِ وَٱلزُّبُرِۗ وَأَنزَلۡنَآ إِلَيۡكَ ٱلذِّڪۡرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيۡہِمۡ وَلَعَلَّهُمۡ يَتَفَكَّرُونَ (٤٤)
44. Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka1 dan supaya mereka memikirkan,
II.1 TAFSIR BIl-MA’TSUR
Tafsir bil-ma’tsur adalah tafsir yang berdasarkan pada Al-Qur`an atau riwayat yang shahih dari pada mufassir, dan merupakan tafsir paling tua dalam sejarah kehadiran tafsir dalam khazanah intelektual Islam”. Yaitu dengan cara menafsirkan Al-Qur`an dengan Al-Qur`an (ayat dengan ayat), Al-Qur`an dengan Sunnah, perkataan sahabat karena mereka-lah yang paling mengetahui kitabullah, atau dengan pendapat tokoh-tokoh besar tabi`in. dan pada umumnya mereka menerimanya dari pada sahabat. Namun terdapat perbedaan dalam pengkategorian pendapat tabi’in sebagai tafsir bil-ma’tsur karena ada indikasi bahwa pendapat tabi’in banyak telah terkooptasi oleh akal berbeda dengan pendapat sahabat yang dimungkinkan untuk mengetahui penafsiran suatu ayat berdasarkan petunjuk Nabi. Selain itu sahabat juga menyertai Nabi pada saat turunnya sebagian ayat sehingga mereka lebih mengetahui asbab an-Nuzul sebuah ayat.
Misalnya firman Allah SWT sebagai berikut:
23. keduanya berkata: "Ya Tuhan Kami, Kami telah Menganiaya diri Kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni Kami dan memberi rahmat kepada Kami, niscaya pastilah Kami Termasuk orang-orang yang merugi.
ayat tersebut menurut sebagian model penafsiran merupakan penjelasan bagi lafadz كلمات yang terdapat dalam ayat:
37. kemudian Adam menerima beberapa kalimat2 dari Tuhannya, Maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.
Contoh lain juga, Dari Uqbah bin Amir, ia berkata: saya pernah mendengar Rasulullah mengatakan membaca ayat ini di atas mimbar:
60. dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).
Ketahuilah kekuatan disini adalah memanah (HR Muslim dan lainnya).
Kelemahan Tafsir bil-ma’tsur
1. Banyak ditemukan riwayat-riwayat yang disisipkan oleh orang-orang yahudi dan persi dengan tujuan merusak islam melalui informasi yang tidak dipertanggungjawabkan kebenarannya.
2. Banyak ditemukan usaha-usaha penyusupan kepentingan yang dilakukan oleh aliran-aliran yang dianggap menyimpang seperti kaum Syi’ah.
3. Tercampur aduknya riwayat-riwayat yang shahih dengan riwayat-riwayat hadits yang sanadnya lemah
4. Banyak ditemukan riwayat Isra’iliyyat yang mengandung dongeng-dongeng yang tidak dapat dipertanggungjawabkan
Kitab-Kitab Tafsir Bil-Ma’Tsur, antara lain:
1. Tafsir Ibnu Jarir, ditulis oleh Ibnu Jarir,
2. Tafsir Abu Laits as Samarqandy,
3. Tafsir Ad-Durarul Ma’tsur fit tafsiri bil Ma’tsur.
4. Tafsir Ibnu Katsir.
5. Tafsir Al-Bughawy.
6. Asbabun Nuzul.
7. Kitab An-Nasikh wal Mansukh.
Toko-Toko Musafir
1. MUJAHID BIN JABIR
2. AT-TABARI
3. IBNU KASIR
II.2 TAFSIR BIR-RA’YI
Kata al-Ra’y berarti pemikiran, pendapat dan ijtihad. Sedangkan menurut definisinya, Tafsir bir-ra’yi adalah penafsiran al-Qur’an yang didasarkan pada pendapat pribadi mufassir setelah terlebih dahulu memahami bahasa dan adat istiadat bangsa Arab. Berijtihad tanpa memperhatikan penjelasan Nabi sebagai mubayyin maupun penjelasan shahabat-shahabatnya. Sekilas hal ini jelas akan berimplikasi negatif pada penyimpulan istinbat terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang ditafsirkan karena terkesan sembrono sehingga sebagian ulama menolak tafsir ini bahkan diantaranya ada yang mengharamkan.
Tafsir bir-ra’yi muncul sebagai sebuah jenis tafsir pada periode akhir pertumbuhan tafsir bil-ma’tsur sebagai periode awal perkembangan tafsir ini. Pada masa ini Islam semakin maju dan berkembang, maka berkembanglah berbagai madzhab dan aliran dikalangan umat Islam. Masing-masing golongan berusaha meyakinkan umat dalam rangka mengembangkan paham mereka. Untuk maksud tersebut mereka mencari ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits Nabi, lalu mereka tafsirkan sesuai keyakinan yang mereka anut.
Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa sebenarnya tafsir bir-ra’yi tidak semata-mata didasari penalaran akal, dengan mengabaikan sumber-sumber riwayat secara mutlak akan tetapi lebih selektif terhadap riwayat tersebut. Dalam sumber lain Tafsir bir-ra’yi bukan berarti menafsirkan ayat dengan menggunakan akal seluas-luasnya, tetapi tafsir yang didasarkan pada pendapat yang mengikuti kaidah-kaidah bahasa Arab yang bersandar pada sastra jahiliah berupa syair, prosa, tradisi bangsa Arab, dan ekspresi percakapan mereka serta pada berbagai peristiwa yang terjadi pada masa Rasul menyangkut perjuangan, perlawanan, pertikaian, hijrah, dan peperangan yang beliau lakukan selain itu juga menyangkut berbagai fitnah yang pernah terjadi dan hal-hal yang terjadi saat itu, yang mengharuskan adanya hukum-hukum dan diturunkannya ayat-ayat al-Quran. Dengan demikian, tafsir bir-ra’yi adalah tafsir dengan cara memahami berbagai kalimat al-Quran melalui pemahaman yang ditunjukkan oleh berbagai informasi yang dimiliki seorang ahli tafsir seperti bahasa dan berbagai peristiwa.
Sebab-Sebab Timbulnya Tafsir bir-Ra’yi
Mula-mula tafsir al-Qur’an disampaikan secara syafāhiy (wicara, dari mulut ke mulut). Kemudian setelah dimulai pembukuan kitab-kitab kumpulan hadis, maka tafsir al-Qur’an dibukukan bersama-sama dengan hadis, dan merupakan satu dari beberapa bab yang terkandung dalam kitab hadis. Pada masa itu belum ada penafsiran ayat per ayat, surat per surat, dari permulaan mushaf sampai dengan akhir, dan belum ada penafsiran per judul pembahasan.
Pada akhir pemerintahan Bani Umayyah dan awal pemerintahan Bani Abbasiyah, di tengah-tengah masa pentadwinan cabang-cabang ilmu pengetahuan, tafsir al-Qur’an mulai memisahkan diri dari hadis, hidup mandiri secara utuh dan lengkap. Dalam artian, tiap-tiap ayat mendapat penafsiran, secara tertib menurut urutan mushhaf.
Syarat-syarat mufassir bir-ra’yi
Ada beberapa ketentuan sebagai syarat yang harus dipenuhi oleh mufassir berkaitan dengan diterima tidaknya dalam melakukan tafsir bir-ra’yi, yaitu, sebagai berikut;
1. Mempunyai keyakinan (al-i’tiqād) yang lurus dan memegang teguh ketentuan-ketentuan agama
2. Mempunyai tujuan yang benar, ikhlas semata-mata untuk mendekatkan diri (al-taqarrub) kepada Allah swt.
3. Bersandar pada naql pada Nabi saw. dan para sahabat, serta menjauhi bid’ah.
4. Menguasai 15 bidang ilmu yang diperlukan oleh seorang mufassir, antara lain; ilmu al-naḥwu, al-lughah, al-taṣrīf, al-istiqāq, ‘ilm al-ma’āniy,’ ilm al-badī’, ‘ilm al-qirā’at, uṣūl al-dīn, uṣūl al-fiqh, asbāb al-nuzūl, ‘ilm al-nāsikh wa al-mansūkh, fiqh, hadis-hadis yang menjelaskan tafsir al-mujmāl dan al-mubhām, serta ‘ilm al-mauhibah.
Perbedaan Pendapat Ulama Tafsir Tentang Tafsir bir-Ra’yi
Pemahaman ulama tafsir terhadap tafsir bir-ra’yi membagi mereka dalam dua golongan, yaitu ulama tafsir yang melarang dan membolehkan tafsir bir-ra’yi. Umumnya yang melarang melakukan penafsiran al-Qur’an dengan al-ra’yu adalah golongan ulama salaf.
Menurut mereka yang tidak membolehkan, pada tafsir bir-ra’yi seorang mufassir menerangkan makna-makna yang terkandung di balik teks al-Qur’an hanya berpegang pada pemahaman sendiri dan penyimpulannya (istinbāṭ) didasarkan pada akal semata. Dan landasan pemahamannya juga jauh dari ruh syari’at dan nas-nasnya.
Al-ra’yu semata tidak disertai dengan bukti-bukti akan membawa penyimpangan terhadap kitabullah. Kebanyakan orang yang melakukan penafsiran dengan semangat demikian adalah ahli bid’ah, penganut madzhab batil. Mereka menafsirkan al-Qur’an menurut pendapat pribadi yang tidak mempunyai dasar pijakan berupa pendapat atau penafsiran ulama salaf, sahabat dan tabi’in. Mereka mengambil dasar firman Allah: QS. Al-Isra’
36. dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.
Dan firman Allah, QS. Al-A’raf :28. dan apabila mereka melakukan perbuatan keji3, mereka berkata: "Kami mendapati nenek moyang Kami mengerjakan yang demikian itu, dan Allah menyuruh Kami mengerjakannya." Katakanlah: "Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji." mengapa kamu mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?
Namun sebagian besar ulama membolehkan menafsirkan dengan menggunakan metode tafsir bir-ra’yi. Dengan tingkat kehati-hatian (ikhtiyāṭ) yang tinggi, mereka menempuh jalur al-jam’u wa al-tafrīq (mengkompromikan dan memilah-milah) sehingga mereka memunculkan beberapa syarat bagi mufassir sebagai ketentuan baku yang telah disepakati.
Pembagian Tafsir bir-Ra’yi
Tafsir bi al-ra’yi terbagi menjadi dua bagian:
1. Tafsir al-Maḥmūdah
2. Tafsir al-Madhmūmah
PENUTUP
III.1 KESIMPULAN
Menjelaskan suatu makna dalam Al-Qur`an disebut dengan tafsir, sedang yang menafsirkan di katakan mufassir. salah satu manhaj dalam penasiran dengan menggunakan penafsiran secara riwayat atau biasa disebut tafsir bil ma`tsur. Dalam metode penafsiran semacam ini, Al-Qur`an sebagai pusat sentral tafsir, tafsir Al-Qur`an dengan Al-Qur`an, Al-Qur`an dengan as-Sunnah, dan Al-Qur`an dengan Sahabat.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, tafsir bir-ra’yi adalah upaya menjelaskan makna ayat al-Qur’an dengan menggunkan kemampuan akal pikiran namun tetap dalam batasan yang tidak melenceng dari sharī’ah Islam dan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh para ulama. Terhadap tafsir bir-ra’yi, sebenarnya, para ulama berbeda pendapat, ada yang membolehkan ada juga yang mengharamkannya. Jika dikaji ulang, sebetulnya pengharaman mereka hanya berlaku kalau di dalam menafsirkan ayat al-Qur’an dengan ra’yu itu tidak terdapat dasar sama sekali atau dilaksanakan tanpa pengetahuan kaidah bahasa Arab, pokok-pokok hukum syari’at dan sebagainya, atau penafsirannya tersebut dipakai untuk menguatkan kemauan nafsu belaka. Mengacu pada pernyataan tersebut para ulama tafsir sepakat membagi tafsir bir-ra’yi dalam dua bagian, yaitu tafsir al-maḥmūdah dan al-madhmūmah
DAFTAR PUSTAKA
Manna Khalil al-Qatthan, Studi Ilmu-Ilmu Qur`an, Bogor: 2009, Pustaka Litera Antar Nusa
Syaikh Manna Khalil al-Qatthan, Pengantar Studi Ilmu Al- Qur`an, Jakarta: 2008, Pustaka Al-Kautsar
Drs. Rif`at Syauqi Nawawi dan Drs. M. Ali Hasan, Ilmu Tafsir, Jakarta: 1988, Pustaka Bulan Bintang
Asy Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-‘Utsaimin, Kaidah Menafsirkan Al-Qur`an, Surakarta: 2008, Pustaka Ar Rayyan
http://tefwai.blogspot.com/2010/06/tafsir-bil-matsur.html?zx=9ee275339c62cafb
Abdullāh, Musa’īd Muslīm. Aṭhar al-Taṭawwur al-Fikr fi al-Tafsīr, (Beirut: Dār al-Fikr, 1987.
Al-Dhahābiy, Muḥammad Ḥusain, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn. Dār al-Kutub al-Hadīth, tt.
Al-Ṣābūniy, Muḥammad ‘Aliy, al-Tibyān fi ‘Ulūm al-Qur’ān. Jakarta: Dinamika Barokah Utama, 1985.
Al-Ṣāliḥ, Ṣubḥiy, Mabāhith fi ‘Ulūm al-Qur’ān. Beirut: Dār al-‘Ilm, 1977.
Al-Suyūṭiy, Jalāl al-Dīn ‘Abd al-Raḥmān. Itmām al-Dirāyah li Qurrā’ al-Nuqāyah. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1985.
—————— Al-Itqān fi ‘Ulūm al-Qur’ān. Mesir: Mustashfā Al-Bāb al-Ḥalabiy, 1951.
Al-Shirbāṣiy, Aḥmad. Sejarah Tafsir Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985.
Al-Qaṭṭān, Mannā’, Mabāhith fi ‘Ulūm al-Qur’ān. Saudi Arabi: al-Dār al-Su’ūdiyāt li al-Naṣr, tt.
Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: DEPAG RI, 1989.
Anwar, Rosihan. ‘Ulūm al-Qur’ān, Bandung: Pustaka Setia, 2008.
http://fospi.wordpress.com/2007/09/24/mengenal-ilmu-tafsir/
بِٱلۡبَيِّنَـٰتِ وَٱلزُّبُرِۗ وَأَنزَلۡنَآ إِلَيۡكَ ٱلذِّڪۡرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيۡہِمۡ وَلَعَلَّهُمۡ يَتَفَكَّرُونَ (٤٤)
44. Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka1 dan supaya mereka memikirkan,
II.1 TAFSIR BIl-MA’TSUR
Tafsir bil-ma’tsur adalah tafsir yang berdasarkan pada Al-Qur`an atau riwayat yang shahih dari pada mufassir, dan merupakan tafsir paling tua dalam sejarah kehadiran tafsir dalam khazanah intelektual Islam”. Yaitu dengan cara menafsirkan Al-Qur`an dengan Al-Qur`an (ayat dengan ayat), Al-Qur`an dengan Sunnah, perkataan sahabat karena mereka-lah yang paling mengetahui kitabullah, atau dengan pendapat tokoh-tokoh besar tabi`in. dan pada umumnya mereka menerimanya dari pada sahabat. Namun terdapat perbedaan dalam pengkategorian pendapat tabi’in sebagai tafsir bil-ma’tsur karena ada indikasi bahwa pendapat tabi’in banyak telah terkooptasi oleh akal berbeda dengan pendapat sahabat yang dimungkinkan untuk mengetahui penafsiran suatu ayat berdasarkan petunjuk Nabi. Selain itu sahabat juga menyertai Nabi pada saat turunnya sebagian ayat sehingga mereka lebih mengetahui asbab an-Nuzul sebuah ayat.
Misalnya firman Allah SWT sebagai berikut:
23. keduanya berkata: "Ya Tuhan Kami, Kami telah Menganiaya diri Kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni Kami dan memberi rahmat kepada Kami, niscaya pastilah Kami Termasuk orang-orang yang merugi.
ayat tersebut menurut sebagian model penafsiran merupakan penjelasan bagi lafadz كلمات yang terdapat dalam ayat:
37. kemudian Adam menerima beberapa kalimat2 dari Tuhannya, Maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.
Contoh lain juga, Dari Uqbah bin Amir, ia berkata: saya pernah mendengar Rasulullah mengatakan membaca ayat ini di atas mimbar:
60. dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).
Ketahuilah kekuatan disini adalah memanah (HR Muslim dan lainnya).
Kelemahan Tafsir bil-ma’tsur
1. Banyak ditemukan riwayat-riwayat yang disisipkan oleh orang-orang yahudi dan persi dengan tujuan merusak islam melalui informasi yang tidak dipertanggungjawabkan kebenarannya.
2. Banyak ditemukan usaha-usaha penyusupan kepentingan yang dilakukan oleh aliran-aliran yang dianggap menyimpang seperti kaum Syi’ah.
3. Tercampur aduknya riwayat-riwayat yang shahih dengan riwayat-riwayat hadits yang sanadnya lemah
4. Banyak ditemukan riwayat Isra’iliyyat yang mengandung dongeng-dongeng yang tidak dapat dipertanggungjawabkan
Kitab-Kitab Tafsir Bil-Ma’Tsur, antara lain:
1. Tafsir Ibnu Jarir, ditulis oleh Ibnu Jarir,
2. Tafsir Abu Laits as Samarqandy,
3. Tafsir Ad-Durarul Ma’tsur fit tafsiri bil Ma’tsur.
4. Tafsir Ibnu Katsir.
5. Tafsir Al-Bughawy.
6. Asbabun Nuzul.
7. Kitab An-Nasikh wal Mansukh.
Toko-Toko Musafir
1. MUJAHID BIN JABIR
2. AT-TABARI
3. IBNU KASIR
II.2 TAFSIR BIR-RA’YI
Kata al-Ra’y berarti pemikiran, pendapat dan ijtihad. Sedangkan menurut definisinya, Tafsir bir-ra’yi adalah penafsiran al-Qur’an yang didasarkan pada pendapat pribadi mufassir setelah terlebih dahulu memahami bahasa dan adat istiadat bangsa Arab. Berijtihad tanpa memperhatikan penjelasan Nabi sebagai mubayyin maupun penjelasan shahabat-shahabatnya. Sekilas hal ini jelas akan berimplikasi negatif pada penyimpulan istinbat terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang ditafsirkan karena terkesan sembrono sehingga sebagian ulama menolak tafsir ini bahkan diantaranya ada yang mengharamkan.
Tafsir bir-ra’yi muncul sebagai sebuah jenis tafsir pada periode akhir pertumbuhan tafsir bil-ma’tsur sebagai periode awal perkembangan tafsir ini. Pada masa ini Islam semakin maju dan berkembang, maka berkembanglah berbagai madzhab dan aliran dikalangan umat Islam. Masing-masing golongan berusaha meyakinkan umat dalam rangka mengembangkan paham mereka. Untuk maksud tersebut mereka mencari ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits Nabi, lalu mereka tafsirkan sesuai keyakinan yang mereka anut.
Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa sebenarnya tafsir bir-ra’yi tidak semata-mata didasari penalaran akal, dengan mengabaikan sumber-sumber riwayat secara mutlak akan tetapi lebih selektif terhadap riwayat tersebut. Dalam sumber lain Tafsir bir-ra’yi bukan berarti menafsirkan ayat dengan menggunakan akal seluas-luasnya, tetapi tafsir yang didasarkan pada pendapat yang mengikuti kaidah-kaidah bahasa Arab yang bersandar pada sastra jahiliah berupa syair, prosa, tradisi bangsa Arab, dan ekspresi percakapan mereka serta pada berbagai peristiwa yang terjadi pada masa Rasul menyangkut perjuangan, perlawanan, pertikaian, hijrah, dan peperangan yang beliau lakukan selain itu juga menyangkut berbagai fitnah yang pernah terjadi dan hal-hal yang terjadi saat itu, yang mengharuskan adanya hukum-hukum dan diturunkannya ayat-ayat al-Quran. Dengan demikian, tafsir bir-ra’yi adalah tafsir dengan cara memahami berbagai kalimat al-Quran melalui pemahaman yang ditunjukkan oleh berbagai informasi yang dimiliki seorang ahli tafsir seperti bahasa dan berbagai peristiwa.
Sebab-Sebab Timbulnya Tafsir bir-Ra’yi
Mula-mula tafsir al-Qur’an disampaikan secara syafāhiy (wicara, dari mulut ke mulut). Kemudian setelah dimulai pembukuan kitab-kitab kumpulan hadis, maka tafsir al-Qur’an dibukukan bersama-sama dengan hadis, dan merupakan satu dari beberapa bab yang terkandung dalam kitab hadis. Pada masa itu belum ada penafsiran ayat per ayat, surat per surat, dari permulaan mushaf sampai dengan akhir, dan belum ada penafsiran per judul pembahasan.
Pada akhir pemerintahan Bani Umayyah dan awal pemerintahan Bani Abbasiyah, di tengah-tengah masa pentadwinan cabang-cabang ilmu pengetahuan, tafsir al-Qur’an mulai memisahkan diri dari hadis, hidup mandiri secara utuh dan lengkap. Dalam artian, tiap-tiap ayat mendapat penafsiran, secara tertib menurut urutan mushhaf.
Syarat-syarat mufassir bir-ra’yi
Ada beberapa ketentuan sebagai syarat yang harus dipenuhi oleh mufassir berkaitan dengan diterima tidaknya dalam melakukan tafsir bir-ra’yi, yaitu, sebagai berikut;
1. Mempunyai keyakinan (al-i’tiqād) yang lurus dan memegang teguh ketentuan-ketentuan agama
2. Mempunyai tujuan yang benar, ikhlas semata-mata untuk mendekatkan diri (al-taqarrub) kepada Allah swt.
3. Bersandar pada naql pada Nabi saw. dan para sahabat, serta menjauhi bid’ah.
4. Menguasai 15 bidang ilmu yang diperlukan oleh seorang mufassir, antara lain; ilmu al-naḥwu, al-lughah, al-taṣrīf, al-istiqāq, ‘ilm al-ma’āniy,’ ilm al-badī’, ‘ilm al-qirā’at, uṣūl al-dīn, uṣūl al-fiqh, asbāb al-nuzūl, ‘ilm al-nāsikh wa al-mansūkh, fiqh, hadis-hadis yang menjelaskan tafsir al-mujmāl dan al-mubhām, serta ‘ilm al-mauhibah.
Perbedaan Pendapat Ulama Tafsir Tentang Tafsir bir-Ra’yi
Pemahaman ulama tafsir terhadap tafsir bir-ra’yi membagi mereka dalam dua golongan, yaitu ulama tafsir yang melarang dan membolehkan tafsir bir-ra’yi. Umumnya yang melarang melakukan penafsiran al-Qur’an dengan al-ra’yu adalah golongan ulama salaf.
Menurut mereka yang tidak membolehkan, pada tafsir bir-ra’yi seorang mufassir menerangkan makna-makna yang terkandung di balik teks al-Qur’an hanya berpegang pada pemahaman sendiri dan penyimpulannya (istinbāṭ) didasarkan pada akal semata. Dan landasan pemahamannya juga jauh dari ruh syari’at dan nas-nasnya.
Al-ra’yu semata tidak disertai dengan bukti-bukti akan membawa penyimpangan terhadap kitabullah. Kebanyakan orang yang melakukan penafsiran dengan semangat demikian adalah ahli bid’ah, penganut madzhab batil. Mereka menafsirkan al-Qur’an menurut pendapat pribadi yang tidak mempunyai dasar pijakan berupa pendapat atau penafsiran ulama salaf, sahabat dan tabi’in. Mereka mengambil dasar firman Allah: QS. Al-Isra’
36. dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.
Dan firman Allah, QS. Al-A’raf :28. dan apabila mereka melakukan perbuatan keji3, mereka berkata: "Kami mendapati nenek moyang Kami mengerjakan yang demikian itu, dan Allah menyuruh Kami mengerjakannya." Katakanlah: "Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji." mengapa kamu mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?
Namun sebagian besar ulama membolehkan menafsirkan dengan menggunakan metode tafsir bir-ra’yi. Dengan tingkat kehati-hatian (ikhtiyāṭ) yang tinggi, mereka menempuh jalur al-jam’u wa al-tafrīq (mengkompromikan dan memilah-milah) sehingga mereka memunculkan beberapa syarat bagi mufassir sebagai ketentuan baku yang telah disepakati.
Pembagian Tafsir bir-Ra’yi
Tafsir bi al-ra’yi terbagi menjadi dua bagian:
1. Tafsir al-Maḥmūdah
2. Tafsir al-Madhmūmah
PENUTUP
III.1 KESIMPULAN
Menjelaskan suatu makna dalam Al-Qur`an disebut dengan tafsir, sedang yang menafsirkan di katakan mufassir. salah satu manhaj dalam penasiran dengan menggunakan penafsiran secara riwayat atau biasa disebut tafsir bil ma`tsur. Dalam metode penafsiran semacam ini, Al-Qur`an sebagai pusat sentral tafsir, tafsir Al-Qur`an dengan Al-Qur`an, Al-Qur`an dengan as-Sunnah, dan Al-Qur`an dengan Sahabat.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, tafsir bir-ra’yi adalah upaya menjelaskan makna ayat al-Qur’an dengan menggunkan kemampuan akal pikiran namun tetap dalam batasan yang tidak melenceng dari sharī’ah Islam dan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh para ulama. Terhadap tafsir bir-ra’yi, sebenarnya, para ulama berbeda pendapat, ada yang membolehkan ada juga yang mengharamkannya. Jika dikaji ulang, sebetulnya pengharaman mereka hanya berlaku kalau di dalam menafsirkan ayat al-Qur’an dengan ra’yu itu tidak terdapat dasar sama sekali atau dilaksanakan tanpa pengetahuan kaidah bahasa Arab, pokok-pokok hukum syari’at dan sebagainya, atau penafsirannya tersebut dipakai untuk menguatkan kemauan nafsu belaka. Mengacu pada pernyataan tersebut para ulama tafsir sepakat membagi tafsir bir-ra’yi dalam dua bagian, yaitu tafsir al-maḥmūdah dan al-madhmūmah
DAFTAR PUSTAKA
Manna Khalil al-Qatthan, Studi Ilmu-Ilmu Qur`an, Bogor: 2009, Pustaka Litera Antar Nusa
Syaikh Manna Khalil al-Qatthan, Pengantar Studi Ilmu Al- Qur`an, Jakarta: 2008, Pustaka Al-Kautsar
Drs. Rif`at Syauqi Nawawi dan Drs. M. Ali Hasan, Ilmu Tafsir, Jakarta: 1988, Pustaka Bulan Bintang
Asy Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-‘Utsaimin, Kaidah Menafsirkan Al-Qur`an, Surakarta: 2008, Pustaka Ar Rayyan
http://tefwai.blogspot.com/2010/06/tafsir-bil-matsur.html?zx=9ee275339c62cafb
Abdullāh, Musa’īd Muslīm. Aṭhar al-Taṭawwur al-Fikr fi al-Tafsīr, (Beirut: Dār al-Fikr, 1987.
Al-Dhahābiy, Muḥammad Ḥusain, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn. Dār al-Kutub al-Hadīth, tt.
Al-Ṣābūniy, Muḥammad ‘Aliy, al-Tibyān fi ‘Ulūm al-Qur’ān. Jakarta: Dinamika Barokah Utama, 1985.
Al-Ṣāliḥ, Ṣubḥiy, Mabāhith fi ‘Ulūm al-Qur’ān. Beirut: Dār al-‘Ilm, 1977.
Al-Suyūṭiy, Jalāl al-Dīn ‘Abd al-Raḥmān. Itmām al-Dirāyah li Qurrā’ al-Nuqāyah. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1985.
—————— Al-Itqān fi ‘Ulūm al-Qur’ān. Mesir: Mustashfā Al-Bāb al-Ḥalabiy, 1951.
Al-Shirbāṣiy, Aḥmad. Sejarah Tafsir Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985.
Al-Qaṭṭān, Mannā’, Mabāhith fi ‘Ulūm al-Qur’ān. Saudi Arabi: al-Dār al-Su’ūdiyāt li al-Naṣr, tt.
Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: DEPAG RI, 1989.
Anwar, Rosihan. ‘Ulūm al-Qur’ān, Bandung: Pustaka Setia, 2008.
http://fospi.wordpress.com/2007/09/24/mengenal-ilmu-tafsir/
0 komentar:
Posting Komentar