Kamis, 01 November 2012

AQIDAH

A. PENGERTIAN AQIDAH
• Aqidah Secara Etimologi
Aqidah berasal dari kata ‘aqd yang berarti pengikatan. Aqidah adalah apa yang diyakini oleh seseorang. Aqidah merupakan perbuatan hati, yaitu kepercayaan hati dan pembenaran terhadap sesuatu.
• Aqidah Secara Syara’
Yaitu beriman kepada Allah, para MalaikatNya, kitab-kitabNya, para Rasulnya, dan kepada hari Akhir serta kepada qadar baik yang baik maupun yang buruk (rukun iman). Dalilnya adalah
• QS. Al Kahfi: 110 - QS Az Zumar: 65
• QS. Az Zumar: 2-3 - QS. An Nahl: 36
• QS. Al A’raf: 59,65,73, 85

• Aqidah secara terminologi
Menurut Abu Bakar Jabir al Jazairy, Aqidah adalah sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara umum (aksioma) oleh manusia berdasarakan akal, wahyu dan fitrah. Kebenaran itu dipatrikan oleh manusia di dalam hati serta diyakini kesahihan dan keberadaannya secara pasti dan ditolak segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran itu.

B SUMBER-SUMBER AQIDAH YANG BENAR
Aqidah adalah tauqifiyah. Artinya, tidak bisa ditetapkan kecuali dengan dalil syar’i, tidak ada medan ijtihad dan berpendapat di dalamnya. Karena itulah sumber-sumbernya terbatas kepada apa yang ada di dalam al-Quran dan as-Sunnah. Sebab tidak seorangpun yang lebih mengetahui tentang Allah, tentang apa-apa yang wajib bagiNya dan apa yang harus disucikan dariNya melainkan Allah sendiri. Dan tidak ada seorangpun sesudah Allah yang mengetahui tentang Allah selain Rasulullah shalallahu ’alaihi wa sallam. Oleh karena itu manhaj as-Salafush Shalih dan para pengikutnya dalam mengambil aqidah terbatas pada al-Quran dan as-Sunnah.

C. ISTILAH-ISTILAH LAIN TENTANG AQIDAH
• Iman, yaitu: sesuatu yang diyakini di dalam hati, diucapkan dengan lisan dan diamalkan dengan anggota tubuh.
• Tauhid, artinya: mengesakan Allah (Tauhidullah).

أَشْهَدُأَنْ لاَاِلَهَ اِلاَّاللَّهُ
“Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan (yang patut untuk disembah) melainkan Allah”
• Ushuluddin, artinya: pokok-pokok agama
• Fiqh Akbar, artinya: fiqh besar. Istilah ini muncul berdasarkan pemahaman bahwa tafaqquh fiddin yang diperintahkan Allah dalam surat At-Taubah ayat 122, bukan hanya masalah fiqih, tentu dan lebih utama masalah aqidah. Dikatakah fiqh akbar, adalah untuk membedakannya dengan fiqh dalam masalah hukum.

D. BEBERAPA KAIDAH AQIDAH
• Apa yang saya dapat dengan indera saya, saya yakini adanya, kecuali bila akal saya mengatakan ”tidak” berdasarkan pengalaman masa lalu.
• Keyakinan, di samping diperoleh dengan menyaksikan langsung, juga bisa melalui berita yang diyakini kejujuran si-pembawa berita.
• Anda tidak berhak memungkiri wujudnya sesuatu, hanya karena anda tidak bisa menjangkaunya dengan indera mata.
• Seseorang hanya bisa mengkhayalkan sesuatu yang sudah pernah dijangkau oleh inderanya.
• Akal hanya bisa menjangkau hal-hal yang terikat dalam ruang dan waktu.
• Iman adalah fitrah setiap manusia.
• Kepuasan materiil di dunia sangat terbatas
• Keyakinan pada hari akhir adalah konsekuensi logis dari keyakinan tentang adanya Allah.

E. AQIDAH ISLAMIYAH
Aqidah Islamiyah adalah iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, kepada qadla dan qadar baik-buruk keduanya dari Allah. Sedangkan makna iman itu sendiri adalah pembenaran yang bersifat pasti (tashdiiqul jazm), yang sesuai dengan kenyataan, yang muncul dari adanya dalil/bukti. Bersifat pasti artinya seratus persen kebenaran/keyakinannya tanpa ada keraguan sedikitpun. Sesuai dengan fakta artinya hal yang diimani tersebut memang benar adanya dan sesuai dengan fakta, bukan diada-adakan (mis. keberadaan Allah, kebenaran Quran, wujud malaikat dll). Muncul dari suatu dalil artinya keimanan tersebut memiliki hujjah/dalil tertentu, tanpa dalil sebenarnya tidak akan ada pembenaran yang bersifat pasti .

Suatu dalil untuk masalah iman, ada kalanya bersifat aqli dan atau naqli, tergantung perkara yang diimani. Jika perkara itu masih dalam jangkauan panca indra/aqal, maka dalil keimanannya bersifat aqli, tetapi jika tidak (yaitu di luar jangkauan panca indra), maka ia didasarkan pada dalil naqli. Hanya saja perlu diingat bahwa penentuan sumber suatu dalil naqli juga ditetapkan dengan jalan aqli. Artinya, penentuan sumber dalil naqli tersebut dilakukan melalui penyelidikan untuk menentukan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dijadikan sebagai sumber dalil naqli. Oleh karena itu, semua dalil tentang aqidah pada dasarnya disandarkan pada metode aqliyah. Dalam hal ini, Imam Syafi’i berkata:“Ketahuilah bahwa kewajiban pertama bagi seorang mukallaf adalah berfikir dan mencari dalil untuk ma’rifat kepada Allah Ta’ala. Arti berfikir adalah melakukan penalaran dan perenungan kalbu dalam kondisi orang yang berfikir tersebut dituntut untuk ma’rifat kepada Allah. Dengan cara seperti itu, ia bisa sampai kepada ma’rifat terhadap hal-hal yang ghaib dari pengamatannya dengan indra dan ini merupakan suatu keharusan. Hal ini seperti merupakan suatu kewajiban dalam bidang ushuluddin.”


F. PERKEMBANGAN AQIDAH ISLAMIAH

• Apabila kita memperhatikan kisah para Rasul, maka apa yang mereka serukan pertama kali saat mereka berdakwah adalah tentang tauhid, bahwa kita diwajibkan untuk beribadah hanya kepada Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya dan menjauhi syirik walaupun dengan syariat yang berbeda-beda. Hal ini bukan berarti para Rasul tidak menyeru kepada keutamaan-keutamaan yang lain, namun mereka juga membawa syariat dan konsep hidup untuk memperbaiki urusan hidup umatnya di dunia. Mereka juga memerintahkan yang makruf dan menjauhi yang munkar. Meskipun begitu, keutamaan yang paling besar adalah mentauhidkan Allah dan bertaqwa kepada-Nya.

• Pada zaman Rasulullah Saw, aqidah bukan merupakan disiplin ilmu tersendiri, karena masalahnya sangat jelas dan tidak terjadi perbedaan-perbedaan faham, kalaupun terjadi langsung diterangkan oleh beliau. Pada masa ini, saat membicarakan masalah aqidah maka cakupannya cukup jelas, yaitu tentang tauhid, tentang dien yang hanif, dien yang lurus, dien yang fithrah (suci), yang Allah telah menciptakan manusia atas dasar fithrah. Dia selalu ada bersamaan dengan adanya manusia, sebagaimana diterangkan dalam Al Quran sebagai sumber sejarah yang kuat dalam surat Ar Ruum ayat 30, yang berbunyi:

فـَأقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفـًاۚفِطْرَتَ اللـّٰهِ الـَّتِىْ فـَطَرَالنـَّاسَ عَلـَيْهَاۚلاَتـَبْدِيْلَ لِخَلـْقِ اللـّٰهِۚ ذٰ لِكَ الدِّيْنُ الـْقـَيِّمُ وَلٰـكِنَّ أكـْثـَرَالنـَّاسِ لاَيَعْلـَمُوْنَ (الروم : ٣٠)
Artinya : “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar Ruum: 30)
• Pada masa ini, Rasulullah banyak menggunakan kebanyakan waktunya untuk berdakwah kepada mentauhidkan Allah dengan ibadah dan taat. Inilah tuntutan laa ilaaha illallaah dan muhammadar Rasulullah. Adapun tauhid dalam kebanyakan ayat Al Quran adalah tauhid uluhiyah (yaitu memurnikan semua bentuk ibadah hanya semata-mata untuk Allah, agar manusia mengetahui bahwasanya mereka hanya beribadah kepada Allah, sehingga mereka hanya mau tunduk dan taat kepada perintah-Nya), rububiyah (yaitu memurnikan hanya kepada Allah dalam menciptakan, memiliki dan mengatur agar manusia mengakui keagungan Allah atas semua makhluk-Nya), asma’ dan sifat-Nya (yaitu menetapkan bahwa Allah mempunyai nama-nama baik dan sifat-sifat yang tinggi), berdakwah kepada ikhlas beribadah dan hanya beribadah kepada Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya serta menetapkan dasar-dasar keyakinan yaitu iman dan Islam.

• Terkadang, aqidah juga digunakan istilah ushuluddin (pokok-pokok agama), as sunnah (jalan yang dicontohkan Nabi Muhammad), al fiqhul akbar (fiqih terbesar), ahlus sunnah wal jamaah (mereka yang menetapi sunnah Nabi Saw dan berjamaah) atau terkadang menggunakan istilah ahlul hadits atau salaf yaitu mereka yang berpegang atas jalan Rasulullah Saw dari generasi pertama sampai generasi ketiga yang mendapat pujian dari Nabi Saw. Ringkasnya, aqidah Islamiyah yang shahih bisa disebut tauhid, fiqih akbar dan ushuluddin, sedangkan manhaj (metode) dan contohnya adalah ahlul hadits, ahlul sunnah dan salaf.

• Namun pada masa pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib timbul pemahaman-pemahaman baru dalam aqidah Islamiyah. Beberapa pemahaman baru ini antara lain:
1. Rawafidh, yaitu golongan yang menolak kekhalifahan Abu Bakar dan Umar bin Khattab dan mengklaim yang berhak adalah Ali bin Abi Thalib, mengkafirkan sahabat kecuali beberapa orang saja.
2. Khawarij, yaitu golongan yang mengkafirkan orang-orang yang berdosa besar atau ahli maksiat. Muncul pertama kali tahun 73 H.
3. Qadariyah, yaitu golongan yang meyakini bahwa manusia itu sendirilah yang menciptakan perbuatannya, sedangkan Allah tidak menetapkan qadar apa-apa.
4. Murji’ah, yaitu golongan yang menganggap bahwa amal perbuatan bukan termasuk iman, iman cukup di hati dan lisan saja tanpa harus diwujudkan dalam amal nyata.
5. Jahmiyah, yaitu golongan yang meyakini bahwa Allah yang menentukan baik dan buruknya perbuatan seseorang, manusia tidak punya kuasa ikhtiar apa-apa.
6. Mu’tazilah, mereka meyakini bahwa orang yang berdosa besar tidak kafir dan bukan Muslim tetapi di antara keduanya.
7. Musyabbihah, yaitu golongan yang melampaui batas dalam menetapkan sifat-sifat Allah dengan menyerupakan sifat Allah dengan makhluknya.
8. Najjariyah, yaitu golongan yang menyatakan bahwa iman itu hanya mengenal Allah dan merendahkan diri di hadapan-Nya serta menafikkan sifat-sifat Allah.
9. Saba’iyah, yaitu golongan yang beranggapan bahwa Ali bin Abi Thalib adalah sebagai Tuhan atau yang tidak beranggapan demikian tapi mereka berkeyakinan bahwa Ali berada di atas awan dan tidak mati.
10. Qaramithah, yaitu golongan yang mengatakan bahwa Allah adalah cahaya yang luhur yang melahirkan para Nabi dan imam, karena itu para imam mengetahui yang ghaib, dan berkuasa atas apa saja.

• Selain golongan-golongan tersebut, masih ada lagi yang lain, baik berupa paham-paham, Filsafat, bahkan sampai kepada dunia politik yang mengatasnamakan Islam. Kita mulai kesulitan dalam menemukan aqidah salafus shalih di antara puing-puing kebobrokan yang ada sekarang ini, hampir-hampir tidak terlihat. Aqidah tersebut telah lenyap dari otak dan hati, tanda-tanda keberadaannya telah hilang dan terhapus dari kehidupan manusia, baik kehidupan individu maupun kelompok, kecuali orang yang dirahmati oleh Allah, dan mereka ini sedikit sekali. Apa yang tertinggal dalam diri kita hanyalah seluruh gambaran yang kita lihat dalam halaman kenyataan ini, sebagai bukti bahwa iman yang benar telah lenyap dari masyarakat kita, dan aqidah tersebut telah lenyap dari hati, atau minimal telah goyah. Inilah lembaran sejarah masa kini yang berkisah seraya menangisi kondisi dan keadaan terakhir umat manusia, yang kegelapannya hampir-hampir melupakan kita dari cahaya yang pernah kita lihat ketika menyaksikan saat-saat singkat kehidupan dalam era terbaik dan generasi terbaik umat Islam.

G. PENYIMPANGAN AQIDAH DAN PENANGGULANGANNNYA
Sebab-Sebab Penyimpangan dari Aqidah Shahihah, yaitu:
1. Kebodohan terhadap aqidah shahihah
Karena tidak mau mempelajari dan mengajarkannya, atau karena kurangnya perhatian terhadapnya. Sehingga tumbuh generasi yang tidak mengenal aqidah shahihah dan juga tidak mengetahui lawan atau kebalikannya. Akibatnya, mereka menyakini yang haq sebagai sesuatu yang batil dan yang batil dianggap sebagai yang haq. Sebagaimana yang dikatakan oleh Umar bin Khatab radliyallahu ’anhu : ” Sesungguhnya ikatan simpul Islam akan pudar satu demi satu manakala di dalam Islam terdapat orang yang tumbuh tanpa mengenal kejahiliyahan”.
2. Ta’ashshub (fanatik)
Kepada sesuatu yang diwarisi dari bapak dan nenek moyangnya, sekalipun hal itu batil, dan mencampakkan apa yang menyalahinya, sekalipun hal itu benar. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 170

3. Taqlid Buta
Dengan mengambil pendapat manusia dalam masalah aqidah tanpa megetahui dalilnya dan tanpa menyelidiki seberapa jauh kebenarannya.
4. Ghuluw (berlebihan)
Dalam mencintai para wali dan orang-orang shalih, serta mengangkat mereka di atas derajat yang semestinya, sehingga menyakini pada diri mereka sesuatu yang tidak mampu dilakukan kecuali oleh Allah, baik berupa mendatangkan kemanfaatan maupun meolak kemudharatan. Juga menjadikan para wali itu perantara antara Allah dan makhlukNya, sehingga sampai pada tingkat penyembahan para wali tersebut dan bukan menyembah Allah.
5. Ghaflah (lalai)
Terhadap perenungan ayat-ayat Allah yang terhampar di jagat raya ini (ayat-ayat kauniyah) dan ayat-ayat Allah yang tertuang dalam kitabNya (ayat-ayat Qura’niyah). Di samping itu, juga terbuai dengan hasil teknologi dan kebudayaan, sampai-sampai mengira bahwa itu semua adalah hasil kreasi manusia semata, sehingga mereka mengagung-agungkan manusia dan menisbatkan seluruh kemajuan ini kepada jerih payah dan penemuan manusia semata. Pada umumnya rumah tangga sekarang ini kosong dari pengarahan yang benar menurut Islam.
6. Enggannya media pendidikan dan media informasi melaksanakan tugasnya
Kurikulum pendidikan kebanyakan tidak memberikan perhatian yang cukup terhadap pendidikan agama Islam, bahkan ada yang tidak peduli sama sekali. Sedangkan media informasi, baik cetak maupun elektronik berubah menjadi sarana penghancur dan perusak, atau paling tidak hanya memfokuskan pada hal-hal yang bersifat meteri dan hiburan semata. Tidak memperhatikan hal-hal yang dapat meluruskan moral dan menanamkan aqidah serta menangkis aliran-aliran sesat.

Cara-cara penanggulangan penyimpangan aqidah adalah dengan :
1. Kembali pada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shalallahu ’alaihi wa sallam
Untuk mengambil aqidah shahihah. Sebagaimana para Salafush Shalih mengambil aqidah mereka dari keduanya. Tidak akan dapat memperbaiki akhir umat ini kecuali apa yang telah memperbaiki umat terdahulunya. Juga dengan mengkaji aqidah golongan yang sesat dan mengenal syubuhat-syubuhat mereka untuk kita bantah dan kita waspadai, karena siapa yang tidak mngenal keburukan, ia dikhawatirkan terperosok ke dalamnya.
2. Memberi perhatian pada pengajaran aqidah shahihah, aqidah salaf, di berbagai jenjang pendidikan.
Memberi jam pelajaran yang cukup serta mengadakan evaluasi yang ketat dalam menyajikan materi ini.
3. Harus ditetapkan kitab-kitab salaf yang bersih sebagai materi pelajaran. Sedangkan kitab-kitab kelompok penyeleweng harus dijauhkan.
4. Menyebar para da’i yang meluruskan aqidah umat Islam
Dengan mengajarkan aqidah salaf serta menjawab dan menolak seluruh aqidah batil.(Kitab Tauhid 1, Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah al Fauzan)
Aqidah atau keimanan adalah suatu keyakinan seseorang yang diwujudkan dengan membenarkan dengan hati kita sendiri, menyatakan dengan lisan dan membuktikannya dengan seluruh amal perbuatan. Orang yang benar-benar beriman itu, terkandung di dalam Qs.AL-Hujurat ayat 15.
Orang beriman wajib juga percaya kepada AL-Quran, Malaikat, Hari akhir, qodlo dan qodar. Karena semua itu merupakan perangkat dalam seting kehidupan.
Orang beriman seharusnya menyadari bahwa didalam berperilaku senantiasa dihadapkan kepada keuntungan atau kerugian, secara lahir dan batin, yang berakibat keuntungan lahiriah (materi) dan batiniah (pahala), maka setiap orang yang beriman adalah orang yang memiliki komitmen dan tekat yang bulat (commitment and determination), untuk memperoleh keberuntungan dari pencipta kehidupan,yakni Allah dan untuk itu Allah menjamin sebagaimana ketetapannya dalam Qs-AL Muminuun [23] ayat 1,
Allah menetapkan sungguh beruntung orang-orang yang beriman, karena itu orang beriman selalu optimis sebabnya selalu akan memperoleh keberuntungan, ketika mendapat musibah ia bersabar karena yakin bahwa musibah adalah rencana Allah untuk meningkatkan derajatnya atau merupakan peringatan untuk perbaikan dirinya.
Dalam AL-Quran Surat at-Tahrim ayat 6,diJelaskan bahwa orang yang beriman diperintahkan untuk : “ Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka ”. Ayat ini menekankan orang yang beriman untuk menimpa berupa harta dan pahala.
Orang beriman senantiasanya mengembangkan sikap “tolerance for risk, ambiguity, and uncertainty”, karena ia mempunyai penjamin kulitas (quality assurance) sandaran keyakinan yang tidak mungkin dapat disaingi oleh siapapun, ia merasa aman bersamanya. Orang beriman selalu rindu, cinta, senang bersama Allah, ia selalu melatih diri untuk membesarkannya dengan shalat yang khusuk, tahajud di dua pertiga malam merupakan target mencapai “maqomam mahmuda” tempat yang terpuji.
Untuk memelihara diri dan keluarga serta untuk memudahkan meringankan kehidupan, islam memiliki syariat atau jalan hidup diantaranya adalah menegakan shalat. Rassulullaah menyatakan bahwa shalat itu adalah tiang agama, maka barang siapa yang menegakkannya ia menegakkan agama, barang siapa yang meninggalkannya ia meruntuhkan agama. Dalam sabda yang lain Rasullullah SAW juga menyatakan batas keimanan seseorang dengan kekafirannya adalah meninggalkan shalat. Dalam kehidupan dunia, shalat merupakan penentu, yakni orang yang dapat shalat dengan khusuk, tawadlu,dalam membesarkan Allah selama melaksanakan shalat, maka makna shalat yakni Ingat kepada Allah dan membesarkannya akan selalu tegak dalam kehidupan sehari-hari setiap saat dalam berbagai kondisi dan situasi, sehingga mencapai apa yang diharapkan Allah yakni terkandung dalam Q.S. Ali Imran [3] ayat 191,

H. TUJUAN AQIDAH DALAM ISLAM

Akidah Islam mempunyai banyak tujuan yang baik yang harus dipegang teguh, yaitu :
1. Untuk mengihlaskan niat dan ibadah kepada AllahI semata. Karena Dia adalah pencipta yang tidak ada sekutu bagiNya, maka tujuan dari ibadah haruslah diperuntukkan hanya kepadaNya.

2. Membebaskan akal dan pikiran dari kekacauan yang timbul dari kosongnya hati dari akidah. Karena orang yang hatinya kosong dari akidah ini, adakalanya kosong hatinya dari setiap akidah serta menyembah materi yang dapat di indera saja dan adakalanya terjatuh pada berbagai kesesatan akidah dan khurafat.

3. Ketenangan jiwa dan pikiran, tidak cemas dalam jiwa dan tidak goncang dalam pikiran. Karena akidah ini akan menghubungkan orang mukmin dengan Penciptanya lalu rela bahwa Dia sebagai Tuhan yang mengatur, Hakim yang membuat tasyri'. Oleh karena itu hatinya menerima takdir-Nya, dadanya lapang untuk menyerah lalu tidak mencari pengganti yang lain.

4. Meluruskan tujuan dan perbuatan dari penyelewengan dalam beribadah kepada Allah dan bermuamalah dengan orang lain. Karena diantara dasar akidah ini adalah mengimani para Rasul, dengan mengikuti jalan mereka yang lurus dalam tujuan dan perbuatan.

5. Bersungguh-sungguh dalam segala sesuatu dengan tidak menghilangkan kesempatan beramal baik, kecuali digunakannya dengan mengharap pahala. Serta tidak melihat tempat dosa kecuali menjauhinya dengan rasa takut dari siksa. Karena diantara dasar akidah ini adalah mengimani kebangkitan serta balasan terhadap seluruh perbuatan.

"Dan masing-masing orang memperoleh derajat-derajat (sesuai) dengan yang dikerjakannya. Dan Tuhanmu tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan." (QS. Al An'am : 132).

Nabi Muhammad SAW juga menghimbau untuk tujuan ini dalam sabdanya :

"Orang mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada orang mukmin yang lemah. Dan pada masing-masing terdapat kebaikan. Bersemangatlah terhadap sesuatu yang berguna bagimu serta mohonlah pertolongan dari Allah dan janganlah lemah. Jika engkau ditimpa sesuatu, maka jaganlah engkau katakan : seandainya aku kerjakan begini dan begitu. Akan tetapi katakanlah : itu takdir Allah dan apa yang Dia kehendaki dia lakukan. Sesungguhnya mengada-ada itu membuka perbuatan setan." ( HR. Muslim)

6. Menciptakan umat yang kuat yang mengerahkan segala yang mahal maupun yang murah untuk menegakkan agamanya serta memperkuat tiang penyanggahnya tanpa peduli apa yang akan terjadi untuk menempuh jalan itu.

"Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan RasulNya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang –orang yang benar." (QS. Al Hujurat : 15).

7. Meraih kebahagiaan dunia dan akhirat dengan memperbaiki individu-individu maupun kelompok-kelompok serta meraih pahala dan kemuliaan. (QS. An Nahl 97)


I. WASIAT AQIDAH IMAM SAYFI’I

• Imam Syafi’i, begitulah orang-orang menyebut dan mengenal nama ini, begitu lekat di dalam hati, setelah nama-nama seperti Khulafaur Rasyidin. Namun sangat disayangkan, orang-orang mengenal Imam Syafi’i hanya dalam kapasitasnya sebagai ahli fiqih. Padahal beliau adalah tokoh ahlus sunnah wal jamaah dengan multi keahlian. Karena itu, ketika memasuki Baghdad, beliau dijuluki Nashirul Hadits (pembaharu) pada abad kedua Hijriah. (Siar A’lam, 10/5-6; 46 dan Tadzkiratul Huffazh, 1/361)
• Dalam hal aqidah, Imam Syafi’i memiliki wasiat yang berharga. Muhammad bin Ali bin Shabbah Al Baldani berkata: “Inilah Imam Syafi’i yang diberikan kepada para sahabatnya, ‘Hendaklah anda bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah Yang Maha Esa, yang tiada sekutu bagi-Nya. Dan sesungguhnya Muhammad bin Abdullah adalah hamba dan Rasul-Nya. Kami tidak membedakan para Rasul antara satu dengan yang lain. Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah semata, Tuhan semesta alam yang tiada bersekutu dengan sesuatupun. Untuk itulah aku diperintah, dan saya termasuk golongan orang yang menyerahkan diri kepada-Nya. Sesungguhnya Allah membangkitkan orang dari kubur dan sesungguhnya surga itu haq, azab neraka itu haq, hisab itu haq, dan timbangan amal serta jembatan itu haq dan benar adanya. Allah SWT membalas hamba-hamba-Nya sesuai dengan amal perbuatannya. Di atas keyakinan ini aku hidup dan mati, dan dibangkitkan lagi insya Allah. Sesungguhnya Al Quran itu kalam Allah, bukan makhluk ciptaan-Nya. Sesungguhnya Allah di hari akhir nanti akan dilihat oleh orang-orang mukmin dengan mata telanjang, jelas, terang tanpa ada suatu penghalang, dan mereka mendengar firman-Nya, sedangkan Dia berada di atas ‘Arsy. Sesungguhnya takdir, baik buruknya adalah berasal dari Allah Yang Maha Perkasa dan Maha Agung. Tidak terjadi sesuatu kecuali apa yang Allah kehendaki dan Dia tetapkan dalam qadha’ dan qadar-nya.
• Sesungguhnya sebaik-baik manusia setelah Baginda Rasul Saw adalah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali ra. Aku mencintai dan setia kepada mereka, dan memohon ampun mereka, bagi pengikut perang Jamal dan Shiffin, baik yang membunuh maupun yang terbunuh, dan bagi segenap Nabi. Kami setia kepada pemimpin negara Islam (yang berdasarkan Al Quran dan As Sunnah) selama mereka mendirikan shalat. Tidak boleh membangkang serta memberontak kepada mereka dengan senjata. Kekhalifahan (kepemimpinan) berada di tangan orang Quraisy. Dan sesungguhnya setiap yang banyaknya memabukkan, maka sedikitnya pun diharamkan. Dan nikah mut’ah adalah haram.
• Aku berwasiat kepadamu dengan taqwa kepada Allah, konsisten dengan sunnah dan atsar dari Rasulullah Saw dan para sahabatnya. Tinggalkanlah bid’ah dan hawa nafsu. Bertaqwalah kepada Allah sejauh yang engkau mampu. Ikutilah shalat Jumat, jamaah dan sunnah (Rasul). Berimanlah dan pelajarilah agama ini. Siapa yang mendatangiku di waktu ajalku tiba, maka bimbinglah aku membaca “Laa ilaaha illallaah wahdahu laa syarikalahu wa anna muhammadan ‘abduhu warasuluh.”
• Di antara yang diriwayatkan Abu Tsaur dan Abu Syu’aib tentang wasiat Imam Syafi’i adalah, ‘Aku tidak mengkafirkan seseorang dari ahli tauhid dengan sebuah dosa, sekalipun mengerjakan dosa besar, aku serahkan mereka kepada Allah Azza wa Jalla dan kepada takdir serta iradah-Nya, baik atau buruknya, keduanya adalah makhluk, diciptakan atas para hamba dari Allah SWT, siapa yang dikehendaki menjadi kafir, kafirlah dia, dan siapa yang dikehendaki-Nya menjadi mukmin, mukminlah dia. Tetapi Allah SWT tidak ridha dengan keburukan dan kejahatan dan tidak memerintahkan atau menyukainya. Dia memerintahkan ketaatan, mencintai dan meridhainya. Orang yang dari umat Muhammad masuk surga bukan karena kebaikannya (tetapi karena rahmat-Nya). Dan orang jahat masuk neraka bukan karena kejahatannya semata. Dia menciptakan makhluk berdasarkan keinginan dan kehendak-Nya, maka segala sesuatu dimudahkan bagi orang yang diperuntukkannya, sebagaimana yang terdapat dalam Hadits (riwayat Al Bukhari, Muslim dan lainnya).
• Aku mengakui hak salaf yang dipilih oleh Allah SWT untuk menyertai Nabi-Nya, mengambil keutamaannya. Aku menutup mulut dari apa yang terjadi di antara mereka, pertentangan ataupun peperangan baik besar maupun kecil. Aku mendahulukan Abu Bakar, kemudian Umar, kemudian Utsman, kemudian Ali ra. Mereka adalah Khulafaur Rasyidin. Aku ikat hati dan lisanku, bahwa Al Quran adalah kalamullah yang diturunkan bukan makhluk yang diciptakan. Sedangkan mempermasalahkan lafazh (ucapan seseorang yang melafazkan Al Quran apakah makhluk atau bukan) adalah bid’ah. Iman adalah ucapan dan amalan yang mengalami pasang dan surut. (Al Amru bil Ittaba’, As Suyuthi, hal 152-154, tahqiq Mustofa Asyur, ijtima’ul Juyusyil Islamiyah, Ibnul Qayyim, 165)

• Kesimpulan dari wasiat di atas adalah:
1. Aqidah Imam Syafi’i adalah ahlus sunnah wal jamaah.
2. Sumber aqidah Imam Syafi’i adalah Al Quran, As Sunnah. Beliau pernah mengucapkan: “Sebuah ucapan seperti apapun tidak akan pasti (tidak diterima) kecuali dengan (dasar) kitabullah atau sunnah Rasul-Nya. Dan setiap yang berbicara tidak berdasarkan Al Kitab dan As Sunnah maka ia adalah mengigau (membual, tidak ada artinya). Wallahu a’lam.” (Manaqibusy Syafi’i 1/470 & 475)
3. Manhaj Imam Syafi’i dalam aqidah menetapkan apa yang ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya, dan menolak apa yang ditolak oleh Allah dan Rasul-Nya. Karena itu beliau menetapkan sifat istiwa’ (Allah bersemayam di atas), ru’yatul mukminin lirrabbihim (orang mukmin melihat Tuhannya) dan lain sebagainya.
4. Dalam hal sifat-sifat Imam Syafi’i mengimani makna lahirnya lafazh tanpa takwil (meniadakan makna tersebut) apalagi ta’thil (membelokkan maknanya). Beliau berkata “Hadits itu berdasarkan lahirnya. Dan jika ia mengandung makna lebih dari satu, maka makna yang lebih mirip dengan lahirnya itu yang lebih utama.” (Al Mizanul Kubra, 1/60, Ijma’ Juyusy, 95)
Imam Syafi’i pernah ditanya tentang sifat-sifat Allah yang harus diimani, maka beliau menjawab, “Allah memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang telah dikabarkan oleh kitab-Nya dan dijelaskan oleh Nabi-Nya kepada umatnya. Tidak seorang pun boleh menolaknya setelah hujjah (keterangan) sampai kepadanya karena Al Quran turun dengan membawa nama-nama dan sifat-sifat itu. Maka barang siapa yang menolaknya setelah tegaknya hujjah, ia adalah kafir. Adapun sebelum tegaknya hujjah, ia adalah ma’dzur (diampuni) karena kebodohannya, sebab hal (nama-nama dan sifat-sifat Allah) itu tidak bisa diketahui dengan akal dan pemikiran. Allah memberitahukan bahwa Dia memiliki sifat “Yadaini” (dua tangan), dengan firman-Nya: “Tetapi kedua tangan Allah terbuka” (QS. Al Maidah: 64). Dia memiliki wajah, dengan firman-Nya: “Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali wajah-Nya.” (QS. Al Qashash: 88).” (Manaqib Asy Syafi’i, Baihaqi, 1/412-413; Ushull’tiqad Ahlis Sunnah, Al Lalikai, 2/702; Siar A’lam An Nubala, 10/79-80; Ijtima’ Al Juyusy Al Islamiyah, Ibnu Qayyim, 94)
5. Kata-kata “As Sunnah” dalam ucapan dan wasiat Imam Syafi’i dimaksudkan untuk tiga arti. Pertama, adalah apa saja yang diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah (berarti lawan dari bid’ah). Kedua, adalah aqidah shahihah yang disebut juga tauhid (lawan dari kalam atau ra’yu). Berarti ilmu tauhid adalah bukan ilmu kalam begitu juga sebaliknya. Imam Syafi’i berkata: “Siapa yang mendalami ilmu kalam, maka seakan-akan ia telah menyelam ke dalam samudera ketika ombak sedang menggunung.” (Al Mizanul Kubra, Asy Sya’rani, 1/60). Ketiga, As Sunnah dimaksudkan sebagai sinonim dari hadits yaitu apa yang datang dari Rasulullah selain Al Quran.
6. Ahlus Sunnah disebut juga oleh Imam Syafi’i dengan sebutan Ahlul Hadits. Karena itu beliau juga berwasiat, “Ikutilah Ahlul Hadits, karena mereka adalah manusia yang paling banyak benarnya.” (Al Adab Asy Syar’iyah, Ibnu Muflih, 1/231). “Ahli Hadits di setiap zaman adalah bagaikan sahabat Nabi.” (Al Mizanul Kubra, 1/60).
• Di antara Ahlul Hadits yang diperintahkan oleh Imam Syafi’i untuk diikuti adalah Imam Ahmad bin Hambal, murid Imam Syafi’i sendiri yang menurut Imam Nawawi: “Imam Ahmad adalah imamnya Ashabul Hadits, imam Ahli Hadits.” (Al Majmu’, 1/10).
• Itulah beberapa wasiat Imam Syafi’i tentang aqidah Islamiyah, semoga hal tersebut bisa kita jadikan pelajaran dalam kehidupan kita.


PENUTUP

A. ARSIP AYAT AL-QURAN

o QS. AL-KAHFI
-AYAT 110
o QS. AL-ZUMAR
-AYAT 65
-AYAT 2
-AYAT 3
o QS. AN NAHL
-AYAT 36

-AYAT 97

Artinya:"Barangsiapa yang mengerjakan amal baik, baik lelaki maupun wanita dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang paling baik dari apa yang telah mereka kerjakan."

o QS. AL A’RAF
- AYAT 59
-AYAT 65
-AYAT 73
-AYAT 85
o AL BAQARAH
-AYAT 170
artinya”Dan apabila dikatakan kepada mereka, ’ikutilah apa yang telah diturunkan Allah ’, mereka menjawab, ’(tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.’ (Apakah mereka akan mengikuti juga ), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?”

oQS. AL HUJARAT
-AYAT 15
إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ ثُمَّ لَمۡ يَرۡتَابُواْ وَجَـٰهَدُواْ بِأَمۡوَٲلِهِمۡ وَأَنفُسِهِمۡ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ‌ۚ أُوْلَـٰٓٮِٕكَ هُمُ ٱلصَّـٰدِقُونَ (١٥)

Artinya“ Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, Mereka itulah orang-orang yang benar ”.

o QS. AL MUMINUUN
-AYAT 23
o QS. AT TAHRIM
-AYAT 6
o QS. AL IMRAN
-AYAT 191
yang artinya : “orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi : “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”.

o QS. AL- AN’AM
-AYAT 132
o QS. AT TAUBAH
-AYAT 127

B. KESIMPULAN
1. Sejak jaman Rasulullah hingga saat ini, aqidah Islamiyah sudah berkembang dengan begitu luas. Beberapa orang masih tetap kuat dalam menjalankan aqidah tersebut, dengan terus melakukan perbuatan-perbuatan yang memang terdapat dalam Al Quran dan Al Hadits. Sedangkan beberapa orang yang lain, karena suatu hal, mereka mulai terkikis aqidahnya, sehingga beberapa dari mereka memutuskan untuk mengikuti aqidah yang mereka yakini benar, tapi tidak selalu berjalan sesuai dengan Al Quran dan Al Hadits.
2. Jika manusia mulai menyimpang dalam menjalankan aqidah mereka, jika mereka salah dalam mempercayai sesuatu, maka hal tersebut akan berakibat kesengsaraan pada kehidupannya, baik di dunia maupun di akhirat. Hal ini disebabkan karena mereka akan selalu dipenuhi dengan keragu-raguan, mereka akan berjalan tanpa arah yang jelas, mereka tidak lagi memiliki pedoman yang benar dan kuat dalam menjalankan kehidupan mereka, yang tentunya hal tersebut sangat berbahaya.
3. Dalam menyikapi adanya penyimpangan terhadap aqidah tersebut, maka kembali kepada Al Quran dan Al Hadits merupakan satu-satunya cara agar kehidupan kita kembali ke jalan yang lurus, ke jalan yang benar, jalan yang diridhai oleh Allah. Kita juga harus mengetahui mana aqidah yang benar dan mana yang sesat agar kita tidak terperosok masuk ke dalam aqidah yang tidak sesuai dengan Allah dan Rasul-Nya.
4. Aqidah Islam merupakan aqidah yang istimewa, karena sumbernya berasal dari Allah. Oleh karena itu, aqidah Islam adalah aqidah yang kesempurnaannya tidak perlu diragukan lagi, karena Islam adalah aqidah, dan bukan Filsafat yang diciptakan oleh manusia sehingga memiliki banyak kelemahan.
5. Dengan mempelajari aqidah Islamiyah, kita akan terhindar dari perbuatan penghambaan kepada selain Allah, selain kita juga akan merasa tenang karena kita yakin bahwa Allah akan selalu bersama kita. Aqidah Islamiyah juga bukan ajaran yang mengkotak-kotakkan manusia ke dalam tingkatan-tingkatan tertentu, karena dalam aqidah Islam, orang yang paling tinggi derajatnya di hadapan Allah bukanlah orang yang paling kaya, paling tampan, paling pandai, paling putih kulitnya, tapi orang yang paling tinggi derajatnya di hadapan Allah adalah mereka yang memiliki tingkat ketakwaan tertinggi di antara sesamanya.
6. Salah satu imam besar Islam, yaitu Imam Syafi’i, memberikan wasiat tentang aqidah Islamiyah, di mana hal yang paling pokok dan utama adalah dengan menekankan tauhid, yaitu kita yakin bahwa tidak ada Tuhan kecuali hanyalah Allah Yang Esa.

C. ANALISA KRITIS

• Dari pembahasan yang penyusun paparkan di atas, penyusun mengambil pendapat bahwa negara Indonesia, yang mengakui adanya lima agama yang berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa yang tercantum dalam Pancasila sebagai dasar negara Indonesia, telah terbukti secara nyata memiliki dasar yang menyimpang dengan aqidah Islamiyah. Meskipun jelas bahwa negara Indonesia berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, tapi ke-Esa-an Tuhan di sini juga masih harus dipertanyakan. Dalam Islam, sudah jelas, bahwa dengan keyakinan yang pasti bahwa adanya ke-Esa-an Allah yang mutlak, maka tidak ada Tuhan yang lain selain Allah. Oleh karena itu, jika negara Indonesia menghendaki aqidah Islamiyah yang benar, maka sudah seharusnya dilakukan perubahan terhadap dasar negara kita dengan hanya mencantumkan aqidah Islamiyah sebagai satu-satunya aqidah yang berlaku di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1990, Al Quran dan Terjemahannya, Mujamma’ Al Malik Fahd Li Thiba’at Al Mush-haf Asy Syarif, Medinah Munawwarah
Ibrahim, Najih, Dr., dkk., 2005, Mitsaq Amal Islami, Panduan Bagi Gerakan Islam dalam Memperjuangkan Islam, Pustaka Al 'Alaq, Solo.
Matdawam, M.N., Drs., 1989, Pembinaan dan Pemantapan Dasar Agama, Yayasan “Bina Karier”, Yogyakarta.
Sauri, Sofyan, Dr., H., 2004, Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi, Alfabeta, Bandung.
Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan, Dr., 2004, Edisi Indonesia: Kitab Tauhid 1, Darul Haq, Jakarta.
Suryana Af, A.T., Drs., M.Pd., dkk., 1997, Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi, Tiga Mutiara, Bandung.
Tim penyusun Pustaka Al Wustho, 1994, Bekal Da’i Aktivis Muslim, Pustaka Al Wustho, Solo.

0 komentar:

Posting Komentar

tianahalawa. Diberdayakan oleh Blogger.