Rabu, 07 November 2012

Amalan yang baik

Ada seorang wanita yang dikenal taat beribadah.
Ia kadang menjalankan ibadah sunnah. Hanya satu kekurangannya, Ia tak mau berjilbab. Menutup auratnya. Setiap kali ditanya ia hanya tersenyum dan
menjawab
”Insya Allah yang pentin...g hati dulu yang berjilbab. ”
Sudah banyak orang
menanyakan maupun menasehatinya. Tapi jawabannya tetap sama.

Hingga di suatu malam.
Ia bermimpi sedang di sebuah taman yang sangat indah. Rumputnya sangat hijau, berbagai macam bunga
bermekaran. Ia bahkan bisa
merasakan segarnya udara dan wanginya bunga. Sebuah sungai yang sangat jernih
hingga dasarnya kelihatan, melintas dipinggir taman.
Semilir angin pun ia rasakan di sela-sela jarinya.

Ia tak sendiri.
Ada beberapa wanita disitu yang terlihat juga menikmati
keindahan taman. Ia pun menghampiri salah satu wanita. Wajahnya sangat
bersih seakan-akan
memancarkan cahaya yang sangat lembut.

“Assalamu'alaikum,
saudariku....”

“Wa'alaikum salam. Selamat datang saudariku”

“Terima kasih. Apakah ini surga?”

Wanita itu tersenyum. “Tentu saja bukan, saudariku. Ini hanyalah tempat menunggu sebelum ke surga ”

“Benarkah? Tak bisa kubayangkan seperti
apa indahnya surga jika tempat menunggunya saja
sudah seindah ini. ”

Wanita itu tersenyum
lagi ”Amalan apa yang bisa membuatmu kemari, saudariku ?”

“Aku selalu menjaga waktu shalat dan aku menambahnya dengan ibadah sunnah. ”

“Alhamdulillah..”

Tiba-tiba jauh di ujung taman ia melihat sebuah pintu yang sangat indah. Pintu itu terbuka.
Dan ia melihat beberapa wanita yang berada di Taman mulai memasukinya satu-persatu.

“Ayo kita ikuti mereka” kata wanita itu setengah berlari.

“ Apa di balik pintu itu?” Katanya sambil mengikuti wanita itu

Tentu saja surga saudariku” larinya semakin cepat

“ Tunggu..tunggu aku..”

dia berlari namun tetap tertinggal
Wanita itu hanya setengah berlari sambil tersenym
kepadanya. Ia tetap tak mampu mengejarnya meski ia sudah berlari. Ia lalu berteriak

“Amalan apa yang telah kau lakukan hingga engkau begitu
ringan ?”

“Sama dengan engkau
saudariku.” jawab wanita itu sambil tersenyum

Wanita itu telah mencapai pintu. Sebelah kakinya telah
melewati pintu. Sebelum wanita itu melewati pintu
sepenuhnya, ia berteriak pada wanita itu.

“ Amalan apalagi yang kau lakukan yang tidak kulakukan ?”

Wanita itu menatapnya dan
tersenyum. Lalu
berkata

“Apakah kau tak
memperhatikan dirimu, apa yang membedakan dengan
diriku ?”

Ia sudah kehabisan napas, tak mampu lagi menjawab.

“ Apakah kau mengira Rabbmu akan mengijinkanmu masuk ke Surga-NYa tanpa jilbab menutup auratmu ?”

Tubuh wanita itu telah melewati pintu, tapi tiba-tiba kepalanya mengintip keluar, memandangnya dan
berkata

”Sungguh sangat disayangkan amalanmu tak mampu membuatmu mengikutiku memasuki surga ini untuk dirimu. Cukuplah surga hanya sampai hatimu karena niatmu adlah menghijabi hati.”

Ia tertegun..lalu
terbangun..beristighfar lalu mengambil air wudhu. Ia tunaikan shalat malam. Menangis dan menyesali perkataanya dulu.. berjanji pada Allah sejak saat itu ia
akan menutup auratnyaLihat Selengkapnya

mau baca cerita lain? klik di sahabat HAA

Read More

Kamis, 01 November 2012

TAFSIR BIl-MA’TSUR DAN TAFSIR BIR-RA’YI

Tafsir ialah menjelaskan suatu makna di dalam Al-Qur`an , sedang yang bertindak menjelaskan ayat-ayat tersebut disebut mufassir. Dan salah satu bentuk penerapan yang dipakai para ulama dalam menafsirkan dengan cara al-matsur (riwayat). Nabi Muhammad yang merupakan mufassir pertama, menyampaikan Al-Qur`an sekaligus menjelaskannya kepada umat sebagaimana yang diterangkan dalam surat an-Nahl: 44

بِٱلۡبَيِّنَـٰتِ وَٱلزُّبُرِ‌ۗ وَأَنزَلۡنَآ إِلَيۡكَ ٱلذِّڪۡرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيۡہِمۡ وَلَعَلَّهُمۡ يَتَفَكَّرُونَ (٤٤)

44. Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka1 dan supaya mereka memikirkan,

II.1 TAFSIR BIl-MA’TSUR
Tafsir bil-ma’tsur adalah tafsir yang berdasarkan pada Al-Qur`an atau riwayat yang shahih dari pada mufassir, dan merupakan tafsir paling tua dalam sejarah kehadiran tafsir dalam khazanah intelektual Islam”. Yaitu dengan cara menafsirkan Al-Qur`an dengan Al-Qur`an (ayat dengan ayat), Al-Qur`an dengan Sunnah, perkataan sahabat karena mereka-lah yang paling mengetahui kitabullah, atau dengan pendapat tokoh-tokoh besar tabi`in. dan pada umumnya mereka menerimanya dari pada sahabat. Namun terdapat perbedaan dalam pengkategorian pendapat tabi’in sebagai tafsir bil-ma’tsur karena ada indikasi bahwa pendapat tabi’in banyak telah terkooptasi oleh akal berbeda dengan pendapat sahabat yang dimungkinkan untuk mengetahui penafsiran suatu ayat berdasarkan petunjuk Nabi. Selain itu sahabat juga menyertai Nabi pada saat turunnya sebagian ayat sehingga mereka lebih mengetahui asbab an-Nuzul sebuah ayat.
Misalnya firman Allah SWT sebagai berikut:
23. keduanya berkata: "Ya Tuhan Kami, Kami telah Menganiaya diri Kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni Kami dan memberi rahmat kepada Kami, niscaya pastilah Kami Termasuk orang-orang yang merugi.
ayat tersebut menurut sebagian model penafsiran merupakan penjelasan bagi lafadz كلمات yang terdapat dalam ayat:
37. kemudian Adam menerima beberapa kalimat2 dari Tuhannya, Maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.
Contoh lain juga, Dari Uqbah bin Amir, ia berkata: saya pernah mendengar Rasulullah mengatakan membaca ayat ini di atas mimbar:

60. dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).
Ketahuilah kekuatan disini adalah memanah (HR Muslim dan lainnya).


Kelemahan Tafsir bil-ma’tsur
1. Banyak ditemukan riwayat-riwayat yang disisipkan oleh orang-orang yahudi dan persi dengan tujuan merusak islam melalui informasi yang tidak dipertanggungjawabkan kebenarannya.
2. Banyak ditemukan usaha-usaha penyusupan kepentingan yang dilakukan oleh aliran-aliran yang dianggap menyimpang seperti kaum Syi’ah.
3. Tercampur aduknya riwayat-riwayat yang shahih dengan riwayat-riwayat hadits yang sanadnya lemah
4. Banyak ditemukan riwayat Isra’iliyyat yang mengandung dongeng-dongeng yang tidak dapat dipertanggungjawabkan
Kitab-Kitab Tafsir Bil-Ma’Tsur, antara lain:
1. Tafsir Ibnu Jarir, ditulis oleh Ibnu Jarir,
2. Tafsir Abu Laits as Samarqandy,
3. Tafsir Ad-Durarul Ma’tsur fit tafsiri bil Ma’tsur.
4. Tafsir Ibnu Katsir.
5. Tafsir Al-Bughawy.
6. Asbabun Nuzul.
7. Kitab An-Nasikh wal Mansukh.

Toko-Toko Musafir
1. MUJAHID BIN JABIR
2. AT-TABARI
3. IBNU KASIR

II.2 TAFSIR BIR-RA’YI
Kata al-Ra’y berarti pemikiran, pendapat dan ijtihad. Sedangkan menurut definisinya, Tafsir bir-ra’yi adalah penafsiran al-Qur’an yang didasarkan pada pendapat pribadi mufassir setelah terlebih dahulu memahami bahasa dan adat istiadat bangsa Arab. Berijtihad tanpa memperhatikan penjelasan Nabi sebagai mubayyin maupun penjelasan shahabat-shahabatnya. Sekilas hal ini jelas akan berimplikasi negatif pada penyimpulan istinbat terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang ditafsirkan karena terkesan sembrono sehingga sebagian ulama menolak tafsir ini bahkan diantaranya ada yang mengharamkan.
Tafsir bir-ra’yi muncul sebagai sebuah jenis tafsir pada periode akhir pertumbuhan tafsir bil-ma’tsur sebagai periode awal perkembangan tafsir ini. Pada masa ini Islam semakin maju dan berkembang, maka berkembanglah berbagai madzhab dan aliran dikalangan umat Islam. Masing-masing golongan berusaha meyakinkan umat dalam rangka mengembangkan paham mereka. Untuk maksud tersebut mereka mencari ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits Nabi, lalu mereka tafsirkan sesuai keyakinan yang mereka anut.
Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa sebenarnya tafsir bir-ra’yi tidak semata-mata didasari penalaran akal, dengan mengabaikan sumber-sumber riwayat secara mutlak akan tetapi lebih selektif terhadap riwayat tersebut. Dalam sumber lain Tafsir bir-ra’yi bukan berarti menafsirkan ayat dengan menggunakan akal seluas-luasnya, tetapi tafsir yang didasarkan pada pendapat yang mengikuti kaidah-kaidah bahasa Arab yang bersandar pada sastra jahiliah berupa syair, prosa, tradisi bangsa Arab, dan ekspresi percakapan mereka serta pada berbagai peristiwa yang terjadi pada masa Rasul menyangkut perjuangan, perlawanan, pertikaian, hijrah, dan peperangan yang beliau lakukan selain itu juga menyangkut berbagai fitnah yang pernah terjadi dan hal-hal yang terjadi saat itu, yang mengharuskan adanya hukum-hukum dan diturunkannya ayat-ayat al-Quran. Dengan demikian, tafsir bir-ra’yi adalah tafsir dengan cara memahami berbagai kalimat al-Quran melalui pemahaman yang ditunjukkan oleh berbagai informasi yang dimiliki seorang ahli tafsir seperti bahasa dan berbagai peristiwa.
Sebab-Sebab Timbulnya Tafsir bir-Ra’yi
Mula-mula tafsir al-Qur’an disampaikan secara syafāhiy (wicara, dari mulut ke mulut). Kemudian setelah dimulai pembukuan kitab-kitab kumpulan hadis, maka tafsir al-Qur’an dibukukan bersama-sama dengan hadis, dan merupakan satu dari beberapa bab yang terkandung dalam kitab hadis. Pada masa itu belum ada penafsiran ayat per ayat, surat per surat, dari permulaan mushaf sampai dengan akhir, dan belum ada penafsiran per judul pembahasan.
Pada akhir pemerintahan Bani Umayyah dan awal pemerintahan Bani Abbasiyah, di tengah-tengah masa pentadwinan cabang-cabang ilmu pengetahuan, tafsir al-Qur’an mulai memisahkan diri dari hadis, hidup mandiri secara utuh dan lengkap. Dalam artian, tiap-tiap ayat mendapat penafsiran, secara tertib menurut urutan mushhaf.
Syarat-syarat mufassir bir-ra’yi
Ada beberapa ketentuan sebagai syarat yang harus dipenuhi oleh mufassir berkaitan dengan diterima tidaknya dalam melakukan tafsir bir-ra’yi, yaitu, sebagai berikut;
1. Mempunyai keyakinan (al-i’tiqād) yang lurus dan memegang teguh ketentuan-ketentuan agama
2. Mempunyai tujuan yang benar, ikhlas semata-mata untuk mendekatkan diri (al-taqarrub) kepada Allah swt.
3. Bersandar pada naql pada Nabi saw. dan para sahabat, serta menjauhi bid’ah.
4. Menguasai 15 bidang ilmu yang diperlukan oleh seorang mufassir, antara lain; ilmu al-naḥwu, al-lughah, al-taṣrīf, al-istiqāq, ‘ilm al-ma’āniy,’ ilm al-badī’, ‘ilm al-qirā’at, uṣūl al-dīn, uṣūl al-fiqh, asbāb al-nuzūl, ‘ilm al-nāsikh wa al-mansūkh, fiqh, hadis-hadis yang menjelaskan tafsir al-mujmāl dan al-mubhām, serta ‘ilm al-mauhibah.

Perbedaan Pendapat Ulama Tafsir Tentang Tafsir bir-Ra’yi
Pemahaman ulama tafsir terhadap tafsir bir-ra’yi membagi mereka dalam dua golongan, yaitu ulama tafsir yang melarang dan membolehkan tafsir bir-ra’yi. Umumnya yang melarang melakukan penafsiran al-Qur’an dengan al-ra’yu adalah golongan ulama salaf.
Menurut mereka yang tidak membolehkan, pada tafsir bir-ra’yi seorang mufassir menerangkan makna-makna yang terkandung di balik teks al-Qur’an hanya berpegang pada pemahaman sendiri dan penyimpulannya (istinbāṭ) didasarkan pada akal semata. Dan landasan pemahamannya juga jauh dari ruh syari’at dan nas-nasnya.
Al-ra’yu semata tidak disertai dengan bukti-bukti akan membawa penyimpangan terhadap kitabullah. Kebanyakan orang yang melakukan penafsiran dengan semangat demikian adalah ahli bid’ah, penganut madzhab batil. Mereka menafsirkan al-Qur’an menurut pendapat pribadi yang tidak mempunyai dasar pijakan berupa pendapat atau penafsiran ulama salaf, sahabat dan tabi’in. Mereka mengambil dasar firman Allah: QS. Al-Isra’
36. dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.
Dan firman Allah, QS. Al-A’raf :28. dan apabila mereka melakukan perbuatan keji3, mereka berkata: "Kami mendapati nenek moyang Kami mengerjakan yang demikian itu, dan Allah menyuruh Kami mengerjakannya." Katakanlah: "Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji." mengapa kamu mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?
Namun sebagian besar ulama membolehkan menafsirkan dengan menggunakan metode tafsir bir-ra’yi. Dengan tingkat kehati-hatian (ikhtiyāṭ) yang tinggi, mereka menempuh jalur al-jam’u wa al-tafrīq (mengkompromikan dan memilah-milah) sehingga mereka memunculkan beberapa syarat bagi mufassir sebagai ketentuan baku yang telah disepakati.

Pembagian Tafsir bir-Ra’yi
Tafsir bi al-ra’yi terbagi menjadi dua bagian:
1. Tafsir al-Maḥmūdah
2. Tafsir al-Madhmūmah

PENUTUP

III.1 KESIMPULAN
Menjelaskan suatu makna dalam Al-Qur`an disebut dengan tafsir, sedang yang menafsirkan di katakan mufassir. salah satu manhaj dalam penasiran dengan menggunakan penafsiran secara riwayat atau biasa disebut tafsir bil ma`tsur. Dalam metode penafsiran semacam ini, Al-Qur`an sebagai pusat sentral tafsir, tafsir Al-Qur`an dengan Al-Qur`an, Al-Qur`an dengan as-Sunnah, dan Al-Qur`an dengan Sahabat.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, tafsir bir-ra’yi adalah upaya menjelaskan makna ayat al-Qur’an dengan menggunkan kemampuan akal pikiran namun tetap dalam batasan yang tidak melenceng dari sharī’ah Islam dan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh para ulama. Terhadap tafsir bir-ra’yi, sebenarnya, para ulama berbeda pendapat, ada yang membolehkan ada juga yang mengharamkannya. Jika dikaji ulang, sebetulnya pengharaman mereka hanya berlaku kalau di dalam menafsirkan ayat al-Qur’an dengan ra’yu itu tidak terdapat dasar sama sekali atau dilaksanakan tanpa pengetahuan kaidah bahasa Arab, pokok-pokok hukum syari’at dan sebagainya, atau penafsirannya tersebut dipakai untuk menguatkan kemauan nafsu belaka. Mengacu pada pernyataan tersebut para ulama tafsir sepakat membagi tafsir bir-ra’yi dalam dua bagian, yaitu tafsir al-maḥmūdah dan al-madhmūmah


DAFTAR PUSTAKA
Manna Khalil al-Qatthan, Studi Ilmu-Ilmu Qur`an, Bogor: 2009, Pustaka Litera Antar Nusa
Syaikh Manna Khalil al-Qatthan, Pengantar Studi Ilmu Al- Qur`an, Jakarta: 2008, Pustaka Al-Kautsar
Drs. Rif`at Syauqi Nawawi dan Drs. M. Ali Hasan, Ilmu Tafsir, Jakarta: 1988, Pustaka Bulan Bintang
Asy Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-‘Utsaimin, Kaidah Menafsirkan Al-Qur`an, Surakarta: 2008, Pustaka Ar Rayyan
http://tefwai.blogspot.com/2010/06/tafsir-bil-matsur.html?zx=9ee275339c62cafb
Abdullāh, Musa’īd Muslīm. Aṭhar al-Taṭawwur al-Fikr fi al-Tafsīr, (Beirut: Dār al-Fikr, 1987.
Al-Dhahābiy, Muḥammad Ḥusain, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn. Dār al-Kutub al-Hadīth, tt.
Al-Ṣābūniy, Muḥammad ‘Aliy, al-Tibyān fi ‘Ulūm al-Qur’ān. Jakarta: Dinamika Barokah Utama, 1985.
Al-Ṣāliḥ, Ṣubḥiy, Mabāhith fi ‘Ulūm al-Qur’ān. Beirut: Dār al-‘Ilm, 1977.
Al-Suyūṭiy, Jalāl al-Dīn ‘Abd al-Raḥmān. Itmām al-Dirāyah li Qurrā’ al-Nuqāyah. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1985.
—————— Al-Itqān fi ‘Ulūm al-Qur’ān. Mesir: Mustashfā Al-Bāb al-Ḥalabiy, 1951.
Al-Shirbāṣiy, Aḥmad. Sejarah Tafsir Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985.
Al-Qaṭṭān, Mannā’, Mabāhith fi ‘Ulūm al-Qur’ān. Saudi Arabi: al-Dār al-Su’ūdiyāt li al-Naṣr, tt.
Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: DEPAG RI, 1989.
Anwar, Rosihan. ‘Ulūm al-Qur’ān, Bandung: Pustaka Setia, 2008.
http://fospi.wordpress.com/2007/09/24/mengenal-ilmu-tafsir/


Read More

IJTIHAD

PENDAHULUAN

I.1 LATAR BELAKANG
Sesungguhnya ijtihad adalah suatu cara untuk mengetahui hukum sesuatu melalui dalil-dalil agama yaitu Al-Qur'an dan Al-hadits dengan jalan istimbat.
Adapun mujtahid itu ialah ahli fiqih yang menghabiskan atau mengerahkan seluruh kesanggupannya untuk memperoleh persangkaan kuat terhadap sesuatu hukum agama.
Oleh karena itu kita harus berterima kasih kepada para mujtahid yng telah mengorbankan waktu, tenaga, dan pikiran untuk menggali hukum tentang masalah-masalah yang dihadapi oleh umat Islam baik yang sudah lama terjadi di zaman Rosullulloh maupun yang baru terjadi.


II.1 PENGERTIAN IJTIHAD
Menurut bahasa berasal dari kata: جهد – يجهد berarti sungguh-sungguh, rajin, giat, atau mencurahkan kemampuannya daya upaya atau usaha keras, berusaha keras untuk mencapai atau memperoleh sesuatu
Adapun ijtihad secara istilah cukup beragam dikemukakan oleh ulama usul
fiqh. Namun secara umum adalah
عَمَلِيّةُ اسْتِنْبَاطِ اْلَحْكَامِ الشّرْعِيّةِ مِنْ اَدِلّتِهَا التّفْصِيْلِيّةِ فيِ الشّرِيْعَةِ
Artinya : “Aktivitas untuk memperoleh pengetahuan (istinbath) hukum syara’ dari dalil terperinci dalam syariat”
Dengan kata lain ijtihad (اجتهاد) adalah suatu upaya pemikiran yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja untuk menegaskan prasangka kuat atau Dhon yang didasarkan suatu petunjuk yang berlaku atau penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan suatu yang terdekat dengan kitabullah dan sunnah rosululloh SAW.
Namun pada perkembangan selanjutnya, diputuskan bahwa ijtihad sebaiknya hanya dilakukan para ahli agama Islam.
Tujuan ijtihad adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah di suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu.

II.2 DASAR HUKUM IJTIHAD
1. Fardhu ain : bila ada permasalahan yang meminta dirinya, dan harus mengamalkan hasil dari ijtihad-nya dan tidak boleh taqlid kepada orang lain.
Juga dihukumi fardhu ain jika ditanyakan tentang suatu permasalahan yang belum ada hukumnya.
Firman Allah dalam Surat An-Nisa' Ayat 59

يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِى ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡ‌ۖ فَإِن تَنَـٰزَعۡتُمۡ فِى شَىۡءٍ۬ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأَخِرِ‌ۚ ذَٲلِكَ خَيۡرٌ۬ وَأَحۡسَنُ تَأۡوِيلاً (٥٩)

Artinya: Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah rosul dan orng-orang yang memegang kekuasaan diantara kamu kemudian jika kamu berselisih pendapt tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-qur'an dan Al-hadist)
Sabda Rosulullah SAW yang artinya:

"bila seorang hakim akan memutuskan masalah atau suatu perkara, lalu ia melakukan ijtihad, kemudian hasilnya benar, maka ia memperoleh pahala dua (pahala ijtihad dan pahala kebenaran hasilnya). Dan bila hasilnya salah maka ia memperoleh satu pahala (pahala melakukan ijtihad)
Firman Allah (Al-Anfal:1)

Artinya : "Mereka menanyakan kepadamu tentang pembagian harta rampasan perang. Katakanlah, hanya rampasan perang itu keputusan Allah dan rosul sebab itu bertaqwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan diantara sesamamu, dan taatilah kepada Allah dan Rosulnya jika kamu adalah orang-orang yang beriman".
Fiman Allah (Al-Anfal:41)
Artinya : "Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang maka sesungguhnya setengah untuk Allah, Rosul, Kerabat rosul, anak-anak yatim, orang-oarang miskan dan ibnu sabil. Jika kamu beriaman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba kami muhammad dari hari furqon yaitu bertemunya dua pasukan. Dan Allah maha kuasa atas segala sesuatu".

2. Fardhu kifayah : jika permasalahan yang diajukan kepadanya tidak dikhawatirkan akan habis waktunya, atau ada orang lain selain dirinya yang sama-sama memenuhi syarat sebagai seorang mujtahid
3. Sunnah : apabila ber-ijtihad terhadap permasalahan yang baru, baik di tanya atau tidak
4. Haram : apabila ber-ijtihad terhadap permasalahan yang sudah ditetapkan secara qoth’i, sehingga hasil ijtihadnya bertentangan dengan dalil syara’.

II.3 KEDUDUKAN IJTIHAD
Berbeda dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah, ijtihad terikat dengan ketentuan-ketentuan sebagi berikut :
1. Pada dasarnya yang ditetapkan oleh ijtihad tidak dapat melahirkan keputusan yang mutlak absolut. Sebab ijtihad merupakan aktifitas akal pikiran manusia yang relatif. Sebagai produk pikiran manusia yang relatif maka keputusan daripada suatu ijtihad pun adalah relatif.
2. Sesuatu keputusan yang ditetapkan oleh ijtihad, mungkin berlaku bagi seseorang tapi tidak berlaku bagi orang lain. Berlaku untuk satu masa / tempat tapi tidak berlaku pada masa / tempat yang lain.
3. Ijtihad tidak berlaku dalam urusan penambahan ibadah mahdhah. Sebab urusan ibadah mahdhah hanya diatur oleh Allah dan Rasulullah.
4. Keputusan ijtihad tidak boleh bertentangan dengan al-Qur'an dan as-Sunnah.
5. Dalam proses berijtihad hendaknya dipertimbangkan faktor-faktor motifasi, akibat, kemaslahatan umum, kemanfaatan bersama dan nilai-nilai yang menjadi ciri dan jiwa daripada ajaran Islam.

II.4 FUNGSI IJTIHAD
Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara detil oleh Al Quran maupun Al Hadist. Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan kehidupan modern. Sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan baru dalam melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan beragama sehari-hari.
Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau di suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadist. Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan dalam Al Quran atau Al Hadits itu. Namun jika persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist, pada saat itulah maka umat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al Quran

II.5 OBJEK IJTIHAD
Menurut Imam Ghazali, objek ijtihad adalah setiap hukum syara’ yang tidak
memiliki dalil yang qoth’i. Dengan demikian, syariat Islam dalam kaitannya dengan ijtihad terbagi dalam dua bagian.
6. Syariat yang tidak boleh dijadikan lapangan ijtihad yaitu, hukum-hukum yang telah dimaklumi sebagai landasan pokok Islam, yang berdasarkan pada dalil-dalil qoth’i, seperti kewajiban melaksanakan rukun Islam, atau haramnya berzina, mencuri dan lain-lain.
7. Syariat yang bisa dijadikan lapangan ijtihad yaitu hukum yang didasarkan pada dalil-dalil yang bersifat zhanni, serta hukum-hukum yang belum ada nash-nya dan ijma’ para ulama.

II.6 MACAM-MACAM IJTIHAD
Menurut Muhammad Taqiyu al-Hakim membagi ijtihad menjadi dua bagian,
yaitu :
1. Ijtihad al-Aqli, yaitu ijtihad yang hujjahnya didasarkan pada akal tidak menggunakan dalil syara’
2. Ijtihad syar’i, yaitu ijtihad yang didasarkan pada syara’

Sementara menurut Al Syatibhi, Ijtihad dari segi obyek kajiannya, dibagi menjadi dua yaitu:
1. Ijtihad Istinbathi Adalah ijtihad yang dilakukan dengan mendasarkan pada nash-nash syariat dalam meneliti dan menyimpulkan ide hukum yang terkandung di dalamnya. dan hasil dari ijtihad tersebut kemudian dijadikan sebuah tolak ukur untuk setiap permasalahan yang dihadapi.
2. Ijtihad Tathbiqi. Jika ijtihad istimbathi dilakukan dengan mendasarkan pada nash-nash syariat, maka ijtihad Tathbiqi dilakukan dengan permasalahan kemudian hukum produk dari ijtihad istinbathi akan diterapkan.

II.7 SYARAT MUJTAHID
Syarat-syarat umum yang disepakati oleh para ulama' menurut Dr. Yusuf Qordhowi sebagai berikut:
1. Harus mengetahui Al-Qur'an dan ulumul Qur'an:
b. Mengetahui sebab-sebab turunnya ayat
c. Mengetahui sepenuhnya sejarah pengumpulan atau penyusunan al-qur'an.
d. Mengetahui sepenuhnya ayat-ayat makiyah dan madaniyah, nasikh dan mansukh, muhkam dan mutasyabih, dan sebagainya
e. Menguasai ilmu tafsir, pengetahuan tentang pemahaman al-qur'an.

5. Mengetahui Assunah dan ilmu Hadits
1. Mengetahui bahasa arab
2. Mengethui tema-tema yang sudah merupakan ijma'
3. Mengetahui usul fiqih
4. Mengetahui maksud-maksud sejarah
5. Mengenal manusia dan alam sekitarnya
6. Mempunyai sifat adil dan taqwa
Syarat tambahan :
6. Mengetahui ilmu ushuluddin
7. Mengetahui ilmu mantiq
8. Mengetahui cabang-cabang fiqih

II.8 TINGKATAN MUJTAHID
Tingkatan mujtahid terdiri dari:
1. Mujtahid mustaqil : adalah seorang mujtahid yang bebas menggunakan kaidah-kaidah yang ia buat sendiri, dia menyusun fiqih-nya sendiri yang berbeda dengan madzhab.
2. Mujtahid mutlaq ghairu mustaqil adalah orang yang memiliki kriteria seperti mujtahid mustaqil, namun dia tidak menciptakan sendiri kaidah-kaidahnya, tetapi mengikuti metode salah satu imam.
3. Mujtahid muqoyyad / mujtahid takhrij adalah mujtahid yang terikat oleh madzhab imamnya
4. Mujtahid tarjih adalah mujtahid yang belum sampai derajatnya pada mujtahid takhrij, tetapi mujtahid ini sangat faqih, hafal kaidah-kaidah imamnya, mengetahui dalil-dalilnya, cara memutuskan hukum dan lain-lain, namun kalau dibandingkan dengan mujtahid di atas ia tergolong masih kurang.
5. Mujtahid fatwa : adalah orang yang hafal dan paham terhadap kaidah-kaidah imam madzhab, mampu menguasai persoalan yang sudah jelas maupun yang sulit, namun dia masih lemah dalam menetapkan suatu putusan berdasarkan dalil serta lemah dalam menetapkan qiyas.

PENUTUP

III.1 KESIMPULAN
1. Ijtihad adalah suatu upaya pemikiran atau penelitian untuk mendapatkan hukum dalam kitabullah dan sunah rosul
2. Dasar ijtihad:
b. Firman Allah surat An nisa' :59
c. Firman Allah surat Al anfal: 1,41
d. Dan banyak juga hadits-hadits Rosulullah SAW yang menyebutkan tentang dasar-dasar ijtihad

III.2 SARAN
Para pembaca hendaknya memahami betul masalah-masalah mengenai ijtihad. Karena dengan ijtihad seseorang mampu menetapkan hukum syara' dengan jalan menentukan dari kitab dan sunnah.

DAFTAR PUSTAKA
A. Hanafie, MA., Ushul Fiqh, Jakarta: Widjaya, 1993, cet. XII
Dr. H. Rachmat Syafe’i, MA., Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: Pustaka Setia, 1999, cet. I

Read More

HUBUNGAN FILSAFAT DENGAN ILMU PENDIDIKAN

Pendahuluan
I.1 Latar Belakang
Saat ini pembagian pengetahuan yang dianggap baku boleh dikatakan tidak ada yang memuaskan dan diterima semua pihak. Pembagian yang lazim dipakai dalam dunia keilmuan di Barat terbagi menjadi dua saja, sains (pengetahuan ilmiah) dan humaniora. Termasuk ke dalam sains adalah ilmu-ilmu alam (natural sciences) dan ilmu-ilmu sosial (social sciences), dengan cabang-cabangnya masing-masing. Termasuk ke dalam humaniora adalah segala pengetahuan selain itu, misalnya filsafat, agama, seni, bahasa, dan sejarah.

Penempatan beberapa jenis pengetahuan ke dalam kelompok besar humaniora sebenarnya menyisakan banyak kerancuan karena besarnya perbedaan di antara pengetahuan-pengetahuan itu, baik dari segi ontologi, epistemologi, maupun aksiologi. Kesamaannya barangkali terletak pada perbedaannya, atau barangkali sekadar pada fakta bahwa pengetahuan-pengetahuan humaniora itu tidak dapat digolongkan sebagai sains. Humaniora itu sendiri, pengindonesiaan yang tidak persis dari kata Inggris humanities, berarti (segala pengetahuan yang) berkaitan dengan atau perihal kemanusiaan. Oleh karena itu, ilmu-ilmu sosial pun layak dimasukkan ke dalam humaniora karena sama-sama berkaitan dengan kemanusiaan.

Perlu diketahui bahwa akhir-akhir ini kajian epistemologi di Barat cenderung menolak kategorisasi pengetahuan (terutama dalam humaniora dan ilmu sosial) yang ketat. Pemahaman kita akan suatu permasalahan tidak cukup mengandalkan analisis satu ilmu saja. Oleh karena itu muncullah gagasan pendekatan interdisiplin atau multidisplin dalam memahami suatu permasalahan.
Tema-tema yang dahulu menjadi monopoli satu ilmu pun kini harus didekati dari berbagai macam disiplin agar diperoleh pemahaman yang lebih komprehensif. Wilayah-wilayah geografis tertentu, misalnya Jawa, suku Papua, pedalaman Kalimantan, atau Maroko dan Indian, yang dahulu dimonopoli ilmu antropologi, kini harus dipahami dengan menggunakan berbagai macam disiplin (sosiologi, psikologi, semiotik, bahkan filsafat).

II.1 Filsafat
II.1.1 Pengertian Filsafat
Filsafat/Philosophia berasal dari bahasa Yunani yang telah di-Arabkan. Kata ini terdiri dari dua kata “philos” dan “shopia”. Pilo artinya cinta dalam arti yang luas, yaitu ingin dan karena ingin lalu berusaha mencapai yang diinginkan itu. Sophia artinya kebijakan yang artinya pandai, pengertian yang mendalam. Jadi filsafat boleh diartikan ingin mencapai pandai, cinta pada kebijakan.
Jadi berdasarkan kutipan itu dapatlah disimpulkan bahwa filsafat adalah keinginan yang mendalam untuk mendapatkan kebijakan, atau keinginan yang mendalam untuk menjadi bijak, atau cinta kebijakan.
Yang pertama kali menggunakan kata “Philoshop” adalah Socrates. Dia menggunakan kata ini karena dua alasan, Pertama, kerendah-hatian dia. Meskipun ia seorang yang pandai dan luas pengetahuannya, dia tidak mau menyebut dirinya sebagai orang yang pandai. Tetapi dia memilih untuk disebut pecinta pengetahuan. Kedua, pada waktu itu, di Yunani terdapat beberapa orang yang menganggap diri mereka orang yang pandai (shopis). Mereka pandai bersilat lidah, sehingga apa yang mereka anggap benar adalah benar. Jadi kebenaran tergantung apa yang mereka katakan. Kebenaran yang riil tidak ada. Akhirnya manusia waktu itu terjangkit skeptis, artinya mereka ragu-ragu terhadap segala sesuatu, karena apa yang mereka anggap benar belum tentu benar dan kebenaran tergantung orang-orang shopis. Dalam keadaan seperti ini, Socrates merasa perlu membangun kepercayaan kepada manusia bahwa kebenaran itu ada dan tidak harus tergantung kepada kaum shopis. Dia berhasil dalam upayanya itu dan mengalahkan kaum shopis. Meski dia berhasil, ia tidak ingin dikatakan pandai, tetapi ia memilih kata philoshop sebagai sindiran kepada mereka yang sok pandai.

II.1.2 Definisi Filsafat Menurut Para Ahli
1. Poejawijatna (1974 : 11) mendefinisikan filsafat sebagai sejenis pengetahuan yang berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu berdasarkan fikiran belaka.
2. Hasbullah Bakry (1971 : 11) mengatakan bahwa filsafat ialah sejenis pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta, dan manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai akal manusia dan bagaimana sikap manusia itu seharusnya setelah mencapai pengetahuan itu.

3. Plato memberikan istilah dengan dialektika yang berarti seni berdiskusi. Yaitu kearifan atau pengertian intelektual yang diperoleh lewat proses pemeriksaan secara kritis ataupun dengan berdiskusi untuk mencapai kebenaran asli.

4. Aristoteles berpendapat filsafat adalah pengetahuan yang meliputi kebenaran yang tergabung di dalamnya metafisika, logika, retorika, ekonomi, politik, dan estetika.

5. Al-farabi (Abu Nars Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan) berpendapat bahwa filsafat adalah ilmu yang menyelidiki hakikat yang sebenarnya dari segala yang ada (al-ilmu bil-mauju dat bima hiya al-maujudat)

6. Emanuel Khan mendefinisikan filsafat sebagai pengetahun yang menjadi pokok pangkal segala pengetahuan yang tercakup di dalamnya empat persoalan :
- Apa yang dapat diketahui ? (jawabannya : Metafisika)
- Apa yang seharusnya diketahui ? (jawabannya : Etika)
- Sampai di mana harapan kita ? (jawabannya : Agama)
- Apa itu manusia ? (jawabannya : Antropologi) (bakry, 1971 : 11)

7. Cirero berpendapat bahwa Filsafat adalah ibu dari semua seni (the mother of all the arts).

8. Rene Descartes (Bapak filosof modern). Filsafat adalah kumpulan segala pengetahuan, dimana Tuhan, alam, dan manusia menjadi pokok penyelidikannya.

9. Francis Bacon, filsafat adalah induk agung dari ilmu-ilmu, dan filsafat menangani semua pengetahuan sebagai bidangnya.

10. Jonh Dewey (burlington, Vermont America) berpendapat bahwa suatu alat untuk membuat penyesuaian-penyesuaian diantara yang lama dan yang baru dalam suatu kebudayaan


II.1.3 Faedah Mempelajari Filsafat

Sekurang-kurangnya ada empat faedah dalam mempelajari filsafat :
1. Agar terlatih serius
2. Agar mampu memahami filsafat
3. Agar mungkin menjadi filosof, dan
4. Agar menjadi warga negara yang baik.

Berfilsafat ialah berusaha menemukan kebenaran tentang segala sesuatu dengan menggunakan pemikiran secara serius. Kemampuan berfikir serius diperlukan oleh orang biasa.


II.1.4 Cara Mempelajari Filsafat

Ada tiga macam metode mempelajari filsafat yaitu :
1. Metode sistematis, berarti pelajar menghadapi karya filsafat
2. Metode Historis, digunakan apabila pelajar mempelajari filsafat dengan cara mengikuti sejarahnya.
3. Metode kritis, digunakan oleh mereka yang mempelajari filsafat tingkat intensif.


II.1.5 Objek Penelitian Filsafat

Objek yang diselidiki oleh filsafat ada dua yaitu:
1. Objek materi Yaitu hal atau bahan yang diselidiki (hal yang dijadikan sasaran penyelidikan). Misalnya, ilmu alam objek formanya perubahan dan bangun benda. Ilmu kimia objek formanya benda. Ilmu gaya objek formanya kekuatan dan gerak benda. Sehigga ketiga ilmu tersebut di atas mempunyai objek forma yang berbeda-beda, akan tetapi ketiga ilmu tersebut mempunyai objek materi yang sama yaitu benda.
2. Objek forma yaitu sudut pandang (point of view), darimana hal itu atau bahan tersebut dipandang.

Objek materi filsafat adalah sesuatu yang ada dan mungkin ada. “Ada” disini mempunyai tiga pengertian yaitu :
a. Ada dalam kenyataan.
b. Ada dalam pikiran
c. Ada dalam kemungkinan.
Objek forma filsafat adalah menyeluruh (dalam memandangnya dapat mencapai hakikat/mendalam) dan umum (dalam hal tertentu, hal tersebut dianggap benar selama tidak merugikan kedudukan filsafat sebagai ilmu).


II.1.6 Ciri-ciri Pemikiran Filsafat

Beberapa ciri yang dapat mencapai derajat pemikiran filsafat, yaitu:
1. Sangat umum (universal)
Pemikiran filsafat mempunyai kecenderungan sangat umum dan tingkat keumumannya sangat tinggi (the question tend to be very of general problem of the highest degree of generality) karena pemikiran filsafat bersangkutan dengan konsep-konsep yang sifatnya umum. Contoh tentang manusia, tentang kebebasan, dan lain-lain.



2. Tidak faktual (spekulatif)
Yaitu filsafat membuat dugaan-dugaan yang masuk akal mengenai sesuatu dengan tidak berdasarkan pada bukti.
3. Bersangkutan dengan nilai
C.J. Ducasse mengatakan bahwa filsafat adalah usaha untuk mencari pengetahuan, berupa fakta-fakta, yang disebut penilaian. Yang dibicarakan dalam penilaian adalah baik dan buruk, yang susila dan asusila dan akhirnya filsafat sebagai usaha untuk mempertahankan nilai. Maka dibentuklah sistem nilai, sehingga lahirlah apa yang disebut: nilai sosial, nilai kegamaan dan lain-lain.
4. Berkaitan dengan arti
Nilai selalu dipertahankan dan dicari. Sesuatu yang bernilai pasti tentu di dalamnya penuh dengan arti. Agar para filosof dalam menyampaikan ide-idenya sarat dengan arti, maka para filosof harus dapat menciptakan kalimat-kalimat yang logis dan bahasa yang tepat (ilmiah), kesemuanya itu berguna untuk menghindari adanya keselahan/ sesat pikir (fallacy)
5. Implikatif
Pemikiran filsafat yang baik dan terpilih selalu mengandung implikasi (akibat logis), dan dari implikasi tersebut diharapkan akan mampu melahirkan pemikiran baru, sehingga akan terjadi proses pemikiran yang dinamis: dari tesis ke anti tesis kemudian sintesis dan seterusnya ... sehingga tiada habis-habisnya.


II.1.7 Sistematika Filsafat

Hasil berpikir tentang segala sesuatu yang ada dan mungkin ada dinamakan dengan sistematika filsafat (disebut juga struktur filsafat).

Tujuan berfilsafat ialah menemukan kebenaran yang sebenarnya. Jika kebenaran yang sebenarnya itu disusun secara sitematis. Jadilah ia sistematika filsafat.

Tiga teori yang dipelajari oleh filsafat yaitu teori pengetahuan, teori hakikat dan teori nilai. Dan ketiganya punya arti tersendiri yaitu :
1. Teori pengetahuan membicarakan cara memperoleh pengetahuan, disebut epistemologi
2. Teori hakikat membicarakan pengetahuan itu sendiri, disebut ontologi
3. Teori nilai membicarakan guna pengetahuan itu disebut axiologi

1. Epistemologi

Epistemologi adalah pembahasan mengenai metode yang digunakan untuk mendapatkan pengetahuan. Epistemologi membahas pertanyaan-pertanyaan seperti: bagaimana proses yang memungkinkan diperolehnya suatu pengetahuan? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Lalu benar itu sendiri apa? Kriterianya apa saja?


2. Ontologi

Ontologi adalah pembahasan tentang hakekat pengetahuan. Ontologi membahas pertanyaan-pertanyaan semacam ini: Objek apa yang ditelaah pengetahuan? Adakah objek tersebut? Bagaimana wujud hakikinya? Dapatkah objek tersebut diketahui oleh manusia, dan bagaimana caranya?

3) Aksiologi
Aksiologi adalah pembahasan mengenai nilai moral pengetahuan. Aksiologi menjawab pertanyaan-pertanyaan model begini: untuk apa pengetahuan itu digunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan pengetahuan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara metode pengetahuan dengan norma-norma moral/profesional?

II.1.8 Cabang-cabang Filsafat
Filsafat merupakan bidang studi sedemikian luasnya sehingga diperlukan pembagian yang lebih kecil lagi. Dalam pembagian tersebut tidak ada tata cara pembagian, sehingga terdapat perbedaan seperti :
Filsafat dapat dikelompokkan menjadi 4 bidang induk, yaitu:
1. Filsafat tentang pengetahuan, terdiri dari:
- Epistemologi
- Logika
- Kritik ilmu-ilmu
2. Filsafat tentang keseluruhan kenyataan, terdiri dari:
- Metafisika umum (ontologi)
- Metafisika khusus
(1) Teologi metafisika
(2) Antropologi
(3) Kosmologi
3. Filsafat tentang tindakan, terdiri dari:
- Etika
- Estetika
4. Sejarah filsafat.

Pembagian filsafat secara matematis yang didasarkan pada sistematika yang berlaku di dalam kurkulum akademis :
1. Metafisika (filsafat tentang hal yang ada) 7. Sejarah filsafat
2. Epistemologi (teori pengetahuan)
3. Metodologi (teori tentang metode)
4. Logika (teori tentang penyimpulan)
5. Etika (Filsafat tentang pertimbangan moral)
6. Estetika (filsafat tentang keindahan)

Pembagian filsafat berdasarkan pada struktur pengetahuan filsafat yang berkembang sekarang ini terbagi menjadi tiga bidang, yaitu filsafat sistematis, filsafat khusus, dan filsafat keilmuan.
1. Filsafat sistematis, terdiri dari :
- Metafisika - Metodologi
- Logika - Etika
- Estetika
2. Filsafat khusus, terdiri dari:
- Filsafat Seni - Filsafat Kebudayaan
- Filsafat Pendidikan - Filsafat Sejarah
- Filsafat Bahasa - Filsafat Hukum
- Filsafat Budi - Filsafat Politik
- Filsafat Agama - Filsafat Kehidupan Sosial
- Filsafat Nilai
3. Filsafat keilmuan, terdiri dari:
- Filsafat Matematik - Filsafat Linguistik
- Filsafat Ilmu-ilmu Fisik - Filsafat Biologi
- Filsafat Psikologi - Filsafat Ilmu-ilmu Sosial

Dalam studi filsafat untuk memahaminya secara baik paling tidak kita harus memahami lima bidang pokok, yaitu :

1. Metafisika
Metafisika merupakan cabang filsafat yang memuat suatu bagian dari persoalan filsafat yang :
- Membicarakan tentang prinsip-prinsip yang paling universal.
- Membicarakan tentang sesuatu yang bersifat keluarbiasaan (beyond nature)
- Membicarakan karakteristik hal-hal yang sangat mendasar, yang di luar pengalaman manusia (immudiate experience)
- Berupaya menyajikan padangan yang komprehensif tentang segala sesuatu.
- Membicarakan persoalan-persoalan seperti : hubungan akal dengan benda, hakikat perubahan, pengertian tentang kemerdekaan, wujud Tuhan, kehidupan setelah mati dan lainnya.

2. Epistimologi (teori Pengetahuan)
Persoalan epistemologi berkaitan erat dengan persoalan metafisika. Bedanya persoalan epistemologi berpusat pada “apakah yang ada?” yang di dalamnya memuat :
- Problem asal pengetahuan (origin)
1. Apakah sumber-sumber pengetahuan?
2. Dari mana pengetahuan yang benar?
3. Bagaimana dapat mengetahui?
- Problem penampilan (appreance)
1. Apakah yang menjadi karakteristik pengetahuan?
2. Adakah dunia riil di luar akal, apabila ada dapatkah diketahui?
- Problem mencoba kebenaran (verification)
1. Apakah pengetahuan kita itu benar/
2. Bagaimanakah membedakan antara kebenaran dan kekeliruan?

3. Logika
Logika adalah bidang pengetahuan yang mempelajari segenap asas, aturan, dan tatacara penalaran yang betul (correct reasoning). Pada mulanya logika sebagai pengetahuan rasional (episteme). Oleh Aristoteles logika disebutnya sebagai analitika, yang kemudian dikembangkan oleh para ahli Abad Tengah yang disebut logika tradisional. Mulai akhir abad ke 19, oleh George Boole logika tradisional dikembangkan menjadi logika modern, sehingga dewasa ini logika telah menjadi bidang pengetahuan yang amat luas yang tidak lagi semata-mata bersifat filsafati, tetapi bercorak teknis dan ilmiah. Logika modern saat ini berkembang menjadi :
- Logika perlambang
- Logika kewajiban
- Logika ganda-niai
- Logika intuisionistik dan
- Berbagai sistem logika tak baku

4. Etika
Etika atau filsafat perilaku sebagai satu cabang filsafat yang membicarakan “tindakan” manusia, dengan penekanan yang baik dan yang buruk. Terdapat dua hal permasalahan, yaitu yang menyangkut “tindakan” dan “baik buruk”. Apabila permasalahan jatuh pada ”tindakan” maka etika disebut sebagai “filsafat praktis” sedangkan jatuh pada “baik buruk” maka etika disebut “filsafat normatif”.
Dalam pemahaman “etika” sebagai pengetahuan mengenai norma baik buruk dalam tindakan mempunyai persoalan yang luas. Etika yang demikian ini mempersoalkan tindakan manusia yang dianggap baik yang harus dijalankan, dibedakan dengan tindakan buruk/jahat yang dianggap tidak manusiawi. Sejalan dengan ini, etika berbeda dengan “agama” yang di dalamnya juga memuat dan memberikan norma baik buruk dalam tindakan manusia. Karena, etika menghandalkan pada rasio semata yang lepas dari sumber wahyu agama yang dijadikan sumber norma Illahi, dan etika lebih cenderung bersifat analitis daripada praktis. Sehingga etika adalah ilmu yang bekerja secara rasio.
Sementara dari kalangan non-filsafat, etika sering digunakan sebagi pola bertindak praktis (etika profesi), misalnya bagaimana menjalakan bisnis yang bermoral (dalam etika berbisnis).

5. Sejarah filsafat
Sejarah filsafat adalah laporan suatu peristiwa yang berkaitan dengan pemikiran filsafat. Biasanya sejarah filsafat ini memuat berbagai pemikiran kefilsafatan (yang beranekaragam) mulai dari zaman pra-Yunani hingga zaman modern. Juga dengan mengetahui pemikiran filsafat para ahli pikir (filosof) ini akan didapat berbagai ragam pemikiran dari dahulu hingga sekarang. Di dalam sejarah filsafat akan diketahui pemikiran-pemikiran yang jenius hingga pemikiran tersebut dapat mengubah dunia, yaitu dengan ide-ide/gagasan-gagasan yang cemerlang.


II.2 Hubungan Filsafat dengan Pendidikan
Filsafat dan pendidikan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Menurut Brauner dan Burns (Problem in Education Philosophy) bahwa pendidikan dan filsafat itu tidak dapat dipisahkan karena yang dijadikan sasaran/tujuan pendidikan adalah juga dijadikan sasaran/tujuan filsafat yaitu kebijaksanaan.
Filsafat sebagai ilmu karena di dalam pengertian filsafat mengandung empat pertanyaan ilmiah, yaitu: bagaimanakah, mengapakah, kemanakah, dan apakah.
Pertanyaan bagaimana menanyakan sifat-sifat yang dapat ditangkap atau yang tampak oleh indera. Jawaban atau pengetahuan yang diperolehnya bersifat deskripsi (penggambaran)
Pertanyaan mengapa menanyakan tentang sebab (asal mula) suatu objek. Jawaban atau pengetahuan yang diperolehnya bersifat kausalitas (sebab akibat).
Pertanyaan ke mana menanyakan tentang apa yang terjadi dimasa lampau, masa sekarang, dan masa yang akan datang. Jawaban yang diperoleh ada tiga jenis pengetahuan, yaitu: Pertama, pengetahuan yang timbul dari hal-hal yang selalu berulang-ulang (kebiasaan), yang nantinya pengetahuan tersebut dapat dijadikan sebagai pedoman. Kedua, pengetahuan yang timbul dari pedoman yang terkandung dalam adat istiadat/kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Ketiga, pengetahuan yang timbul dari pedoman yang dipakai (hukum) sebagai suatu hal yang dijadikan pegangan. Tegasnya pengetahuan yang diperoleh dari jawaban kemanakah adalah pengetahuan normatif.
Pertanyaan apakah yang menanyakan tentang hakikat atau inti mutlak dari suatu hal. Hakikat ini sifatnya sangat dalam (radix) dan tidak lagi bersifat empiris, sehingga hanya dapat dimengerti oleh akal.
Lebih lanjut Kilpatrick dalam bukunya “Philosophy of Education”, menjelaskan bagaimana hubungan filsafat dengan pendidikan sebagai berikut:
“Berfilsafat dan mendidik adalah dua fase dalam satu usaha; berfilsafat adalah memikirkan dan mempertimbangkan nilai-nilai dan cita-cita yang lebih baik, sedangkan mendidik adalah usaha merealisasikan nilai-nilai dan cita-cita itu dalam kehidupan, dalam kepribadian manusia. Mendidik adalah mewujudkan nilai-nilai yang dapat disumbangkan oleh filsafat, dimulai dengan generasi muda; untuk membimbing rakyat membina nilai-nilai di dalam kepribadian mereka, dan dengan cara ini pula cita-cita tertinggi suatu filsafat dapat terwujud dan melembaga di dalam kehidupan mereka.”
Dengan demikian jelaslah bahwa filsafat dan pendidikan itu tidak dapat dipisahkan. Dalam hal ini filsafatlah yang menetapkan konsep, ide-ide dan idealisme atau ideologi yang dibutuhkan sebagai dasar/landasan dan tujuan pendidikan. Dan pendidikan merupakan usaha yang mengupayakan agar ide-ide tersebut menjadi kenyataan, tindakan, tingkah laku, dan bahkan membina kepribadian.
Atas dasar pemahaman itu pula maka filsafat Pancasila selain diakui sebagai dasar dan ideologi negara dan pandangan hidup bangsa, tetapi juga Pancasila dijadikan filsafat dan dasar pendidikan di Indonesia.
Sebagai dasar dan filsafat pendidikan berarti Pancasila harus dijadikan landasan pemikiran dan dasar pertimbangan dalam merumuskan kebijakan-kebijakan dalam pelaksanaan pendidikan di Indonesia; dan juga harus dijadikan dasar pijakan/moral bagi pendidik (menjadi filsafat pendidik) di dalam melaksanakan kegiatan pendidikan atau kegiatan belajar mengajar di sekolah.

PENUTUP
III.1 Kesimpulan

Filsafat adalah keinginan yang mendalam untuk mendapatkan kebijakan, atau keinginan yang mendalam untuk menjadi bijak, atau cinta kebijakan. Yang pertama kali menggunakan kata “Philoshop” adalah Socrates. Dia menggunakan kata ini karena dua alasan, Pertama, kerendah-hatian dia. Meskipun ia seorang yang pandai dan luas pengetahuannya, dia tidak mau menyebut dirinya sebagai orang yang pandai. Tetapi dia memilih untuk disebut pecinta pengetahuan. Kedua, sebagai sindiran kepada mereka yang sok pandai (shopis).
Ada empat faedah dalam mempelajari filsafat : Agar terlatih serius, Agar mampu memahami filsafat, Agar mungkin menjadi filosof, dan Agar menjadi warga negara yang baik.
Ada tiga macam metode mempelajari filsafat yaitu : Metode sistematis, berarti pelajar menghadapi karya filsafat, Metode Historis, digunakan apabila pelajar mempelajari filsafat dengan cara mengikuti sejarahnya, Metode kritis, digunakan oleh mereka yang mempelajari filsafat tingkat intensif.
Objek yang diselidiki oleh filsafat ada dua yaitu: Objek materi Yaitu hal atau bahan yang diselidiki (hal yang dijadikan sasaran penyelidikan) dan Objek forma yaitu sudut pandang (point of view), darimana hal itu atau bahan tersebut di pandang.
Beberapa ciri yang dapat mencapai derajat pemikiran filsafat. Yaitu: sangat umum (universal), tidak faktual (spekulatif), bersangkutan dengan nilai, berkaitan dengan arti, implikatif.
Hasil berpikir tentang segala sesuatu yang ada dan mungkin ada dinamakan dengan sistematika filsafat (disebut juga struktur filsafat). Tiga teori yang dipelajari oleh filsafat yaitu
teori pengetahuan membicarakan cara memperoleh pengetahuan disebut epistemologi, teori hakikat membicarakan pengetahuan itu sendiri disebut ontologi, teori nilai membicarakan guna pengetahuan itu disebut axiologi.
Filsafat dapat dikelompokan menjadi empat bidang induk, yaitu: filsafat tentang pengetahuan, filsafat tentang keseluruhan kenyataan, filsafat tentang tindakan, sejarah filsafat.
Pembagian filsafat secara matematis yang didasarkan pada sistematika yang berlaku di dalam kurkulum akademis :Metafisika (filsafat tentang hal yang ada), Epistemologi (teori pengetahuan), Metodologi (teori tentang metode), Logika (teori tentang penyimpulan), Etika (Filsafat tentang pertimbangan moral), Estetika (filsafat tentang keindahan), Sejarah filsafat.
Pembagian filsafat berdasarkan pada struktur pengetahuan filsafat yang berkembang sekarang ini terbagi menjadi tiga bidang, yaitu filsafat sistematis, filsafat khusus, dan filsafat keilmuan.
Dalam studi filsafat untuk memahaminya secara baik paling tidak kita harus memahami lima bidang pokok, yaitu : metafisika, epistemologi, logika, etika, sejarah filsafat.
Filsafat dan pendidikan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Menurut Brauner dan Burns (Problem in Education Philosophy) bahwa pendidikan dan filsafat itu tidak dapat dipisahkan karena yang dijadikan sasaran/tujuan pendidikan adalah juga dijadikan sasaran/tujuan filsafat yaitu kebijaksanaan.
filsafat dan pendidikan itu tidak dapat dipisahkan. Dalam hal ini filsafatlah yang menetapkan konsep, ide-ide dan idealisme atau ideologi yang dibutuhkan sebagai dasar/landasan dan tujuan pendidikan. Dan pendidikan merupakan usaha yang mengupayakan agar ide-ide tersebut menjadi kenyataan, tindakan, tingkah laku, dan bahkan membina kepribadian.
Atas dasar pemahaman itu pula maka filsafat Pancasila selain diakui sebagai dasar dan ideologi negara dan pandangan hidup bangsa, tetapi juga Pancasila dijadikan filsafat dan dasar pendidikan di Indonesia.
Sebagai dasar dan filsafat pendidikan berarti Pancasila harus dijadikan landasan pemikiran dan dasar pertimbangan dalam merumuskan kebijakan-kebijakan dalam pelaksanaan pendidikan di Indonesia; dan juga harus dijadikan dasar pijakan/moral bagi pendidik (menjadi filsafat pendidik) di dalam melaksanakan kegiatan pendidikan atau kegiatan belajar mengajar di sekolah.


Daftar Pustaka

http://filsafat-ilmu.blogspot.com/2008/02/cuplikan-buku-filsafat-ilmu-pengetahuan.html
Kartanegara, Mulyadhi, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, Bandung: Mizan, 2003.
Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu Suatu Pengantar Populer, Jakarta: Sinar Harapan, 1998.
Harry Hamersma, Pintu Masuk ke Dunia filsafat, Kanisius, Yokyakarta, 1981.
The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, Liberty, Yogyakarta, 1991.
DR. Sudiardja SJ, Filsafat Etika, diklat kuliah, Yogyakarta, 1995.


Read More

AQIDAH

A. PENGERTIAN AQIDAH
• Aqidah Secara Etimologi
Aqidah berasal dari kata ‘aqd yang berarti pengikatan. Aqidah adalah apa yang diyakini oleh seseorang. Aqidah merupakan perbuatan hati, yaitu kepercayaan hati dan pembenaran terhadap sesuatu.
• Aqidah Secara Syara’
Yaitu beriman kepada Allah, para MalaikatNya, kitab-kitabNya, para Rasulnya, dan kepada hari Akhir serta kepada qadar baik yang baik maupun yang buruk (rukun iman). Dalilnya adalah
• QS. Al Kahfi: 110 - QS Az Zumar: 65
• QS. Az Zumar: 2-3 - QS. An Nahl: 36
• QS. Al A’raf: 59,65,73, 85

• Aqidah secara terminologi
Menurut Abu Bakar Jabir al Jazairy, Aqidah adalah sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara umum (aksioma) oleh manusia berdasarakan akal, wahyu dan fitrah. Kebenaran itu dipatrikan oleh manusia di dalam hati serta diyakini kesahihan dan keberadaannya secara pasti dan ditolak segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran itu.

B SUMBER-SUMBER AQIDAH YANG BENAR
Aqidah adalah tauqifiyah. Artinya, tidak bisa ditetapkan kecuali dengan dalil syar’i, tidak ada medan ijtihad dan berpendapat di dalamnya. Karena itulah sumber-sumbernya terbatas kepada apa yang ada di dalam al-Quran dan as-Sunnah. Sebab tidak seorangpun yang lebih mengetahui tentang Allah, tentang apa-apa yang wajib bagiNya dan apa yang harus disucikan dariNya melainkan Allah sendiri. Dan tidak ada seorangpun sesudah Allah yang mengetahui tentang Allah selain Rasulullah shalallahu ’alaihi wa sallam. Oleh karena itu manhaj as-Salafush Shalih dan para pengikutnya dalam mengambil aqidah terbatas pada al-Quran dan as-Sunnah.

C. ISTILAH-ISTILAH LAIN TENTANG AQIDAH
• Iman, yaitu: sesuatu yang diyakini di dalam hati, diucapkan dengan lisan dan diamalkan dengan anggota tubuh.
• Tauhid, artinya: mengesakan Allah (Tauhidullah).

أَشْهَدُأَنْ لاَاِلَهَ اِلاَّاللَّهُ
“Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan (yang patut untuk disembah) melainkan Allah”
• Ushuluddin, artinya: pokok-pokok agama
• Fiqh Akbar, artinya: fiqh besar. Istilah ini muncul berdasarkan pemahaman bahwa tafaqquh fiddin yang diperintahkan Allah dalam surat At-Taubah ayat 122, bukan hanya masalah fiqih, tentu dan lebih utama masalah aqidah. Dikatakah fiqh akbar, adalah untuk membedakannya dengan fiqh dalam masalah hukum.

D. BEBERAPA KAIDAH AQIDAH
• Apa yang saya dapat dengan indera saya, saya yakini adanya, kecuali bila akal saya mengatakan ”tidak” berdasarkan pengalaman masa lalu.
• Keyakinan, di samping diperoleh dengan menyaksikan langsung, juga bisa melalui berita yang diyakini kejujuran si-pembawa berita.
• Anda tidak berhak memungkiri wujudnya sesuatu, hanya karena anda tidak bisa menjangkaunya dengan indera mata.
• Seseorang hanya bisa mengkhayalkan sesuatu yang sudah pernah dijangkau oleh inderanya.
• Akal hanya bisa menjangkau hal-hal yang terikat dalam ruang dan waktu.
• Iman adalah fitrah setiap manusia.
• Kepuasan materiil di dunia sangat terbatas
• Keyakinan pada hari akhir adalah konsekuensi logis dari keyakinan tentang adanya Allah.

E. AQIDAH ISLAMIYAH
Aqidah Islamiyah adalah iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, kepada qadla dan qadar baik-buruk keduanya dari Allah. Sedangkan makna iman itu sendiri adalah pembenaran yang bersifat pasti (tashdiiqul jazm), yang sesuai dengan kenyataan, yang muncul dari adanya dalil/bukti. Bersifat pasti artinya seratus persen kebenaran/keyakinannya tanpa ada keraguan sedikitpun. Sesuai dengan fakta artinya hal yang diimani tersebut memang benar adanya dan sesuai dengan fakta, bukan diada-adakan (mis. keberadaan Allah, kebenaran Quran, wujud malaikat dll). Muncul dari suatu dalil artinya keimanan tersebut memiliki hujjah/dalil tertentu, tanpa dalil sebenarnya tidak akan ada pembenaran yang bersifat pasti .

Suatu dalil untuk masalah iman, ada kalanya bersifat aqli dan atau naqli, tergantung perkara yang diimani. Jika perkara itu masih dalam jangkauan panca indra/aqal, maka dalil keimanannya bersifat aqli, tetapi jika tidak (yaitu di luar jangkauan panca indra), maka ia didasarkan pada dalil naqli. Hanya saja perlu diingat bahwa penentuan sumber suatu dalil naqli juga ditetapkan dengan jalan aqli. Artinya, penentuan sumber dalil naqli tersebut dilakukan melalui penyelidikan untuk menentukan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dijadikan sebagai sumber dalil naqli. Oleh karena itu, semua dalil tentang aqidah pada dasarnya disandarkan pada metode aqliyah. Dalam hal ini, Imam Syafi’i berkata:“Ketahuilah bahwa kewajiban pertama bagi seorang mukallaf adalah berfikir dan mencari dalil untuk ma’rifat kepada Allah Ta’ala. Arti berfikir adalah melakukan penalaran dan perenungan kalbu dalam kondisi orang yang berfikir tersebut dituntut untuk ma’rifat kepada Allah. Dengan cara seperti itu, ia bisa sampai kepada ma’rifat terhadap hal-hal yang ghaib dari pengamatannya dengan indra dan ini merupakan suatu keharusan. Hal ini seperti merupakan suatu kewajiban dalam bidang ushuluddin.”


F. PERKEMBANGAN AQIDAH ISLAMIAH

• Apabila kita memperhatikan kisah para Rasul, maka apa yang mereka serukan pertama kali saat mereka berdakwah adalah tentang tauhid, bahwa kita diwajibkan untuk beribadah hanya kepada Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya dan menjauhi syirik walaupun dengan syariat yang berbeda-beda. Hal ini bukan berarti para Rasul tidak menyeru kepada keutamaan-keutamaan yang lain, namun mereka juga membawa syariat dan konsep hidup untuk memperbaiki urusan hidup umatnya di dunia. Mereka juga memerintahkan yang makruf dan menjauhi yang munkar. Meskipun begitu, keutamaan yang paling besar adalah mentauhidkan Allah dan bertaqwa kepada-Nya.

• Pada zaman Rasulullah Saw, aqidah bukan merupakan disiplin ilmu tersendiri, karena masalahnya sangat jelas dan tidak terjadi perbedaan-perbedaan faham, kalaupun terjadi langsung diterangkan oleh beliau. Pada masa ini, saat membicarakan masalah aqidah maka cakupannya cukup jelas, yaitu tentang tauhid, tentang dien yang hanif, dien yang lurus, dien yang fithrah (suci), yang Allah telah menciptakan manusia atas dasar fithrah. Dia selalu ada bersamaan dengan adanya manusia, sebagaimana diterangkan dalam Al Quran sebagai sumber sejarah yang kuat dalam surat Ar Ruum ayat 30, yang berbunyi:

فـَأقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفـًاۚفِطْرَتَ اللـّٰهِ الـَّتِىْ فـَطَرَالنـَّاسَ عَلـَيْهَاۚلاَتـَبْدِيْلَ لِخَلـْقِ اللـّٰهِۚ ذٰ لِكَ الدِّيْنُ الـْقـَيِّمُ وَلٰـكِنَّ أكـْثـَرَالنـَّاسِ لاَيَعْلـَمُوْنَ (الروم : ٣٠)
Artinya : “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar Ruum: 30)
• Pada masa ini, Rasulullah banyak menggunakan kebanyakan waktunya untuk berdakwah kepada mentauhidkan Allah dengan ibadah dan taat. Inilah tuntutan laa ilaaha illallaah dan muhammadar Rasulullah. Adapun tauhid dalam kebanyakan ayat Al Quran adalah tauhid uluhiyah (yaitu memurnikan semua bentuk ibadah hanya semata-mata untuk Allah, agar manusia mengetahui bahwasanya mereka hanya beribadah kepada Allah, sehingga mereka hanya mau tunduk dan taat kepada perintah-Nya), rububiyah (yaitu memurnikan hanya kepada Allah dalam menciptakan, memiliki dan mengatur agar manusia mengakui keagungan Allah atas semua makhluk-Nya), asma’ dan sifat-Nya (yaitu menetapkan bahwa Allah mempunyai nama-nama baik dan sifat-sifat yang tinggi), berdakwah kepada ikhlas beribadah dan hanya beribadah kepada Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya serta menetapkan dasar-dasar keyakinan yaitu iman dan Islam.

• Terkadang, aqidah juga digunakan istilah ushuluddin (pokok-pokok agama), as sunnah (jalan yang dicontohkan Nabi Muhammad), al fiqhul akbar (fiqih terbesar), ahlus sunnah wal jamaah (mereka yang menetapi sunnah Nabi Saw dan berjamaah) atau terkadang menggunakan istilah ahlul hadits atau salaf yaitu mereka yang berpegang atas jalan Rasulullah Saw dari generasi pertama sampai generasi ketiga yang mendapat pujian dari Nabi Saw. Ringkasnya, aqidah Islamiyah yang shahih bisa disebut tauhid, fiqih akbar dan ushuluddin, sedangkan manhaj (metode) dan contohnya adalah ahlul hadits, ahlul sunnah dan salaf.

• Namun pada masa pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib timbul pemahaman-pemahaman baru dalam aqidah Islamiyah. Beberapa pemahaman baru ini antara lain:
1. Rawafidh, yaitu golongan yang menolak kekhalifahan Abu Bakar dan Umar bin Khattab dan mengklaim yang berhak adalah Ali bin Abi Thalib, mengkafirkan sahabat kecuali beberapa orang saja.
2. Khawarij, yaitu golongan yang mengkafirkan orang-orang yang berdosa besar atau ahli maksiat. Muncul pertama kali tahun 73 H.
3. Qadariyah, yaitu golongan yang meyakini bahwa manusia itu sendirilah yang menciptakan perbuatannya, sedangkan Allah tidak menetapkan qadar apa-apa.
4. Murji’ah, yaitu golongan yang menganggap bahwa amal perbuatan bukan termasuk iman, iman cukup di hati dan lisan saja tanpa harus diwujudkan dalam amal nyata.
5. Jahmiyah, yaitu golongan yang meyakini bahwa Allah yang menentukan baik dan buruknya perbuatan seseorang, manusia tidak punya kuasa ikhtiar apa-apa.
6. Mu’tazilah, mereka meyakini bahwa orang yang berdosa besar tidak kafir dan bukan Muslim tetapi di antara keduanya.
7. Musyabbihah, yaitu golongan yang melampaui batas dalam menetapkan sifat-sifat Allah dengan menyerupakan sifat Allah dengan makhluknya.
8. Najjariyah, yaitu golongan yang menyatakan bahwa iman itu hanya mengenal Allah dan merendahkan diri di hadapan-Nya serta menafikkan sifat-sifat Allah.
9. Saba’iyah, yaitu golongan yang beranggapan bahwa Ali bin Abi Thalib adalah sebagai Tuhan atau yang tidak beranggapan demikian tapi mereka berkeyakinan bahwa Ali berada di atas awan dan tidak mati.
10. Qaramithah, yaitu golongan yang mengatakan bahwa Allah adalah cahaya yang luhur yang melahirkan para Nabi dan imam, karena itu para imam mengetahui yang ghaib, dan berkuasa atas apa saja.

• Selain golongan-golongan tersebut, masih ada lagi yang lain, baik berupa paham-paham, Filsafat, bahkan sampai kepada dunia politik yang mengatasnamakan Islam. Kita mulai kesulitan dalam menemukan aqidah salafus shalih di antara puing-puing kebobrokan yang ada sekarang ini, hampir-hampir tidak terlihat. Aqidah tersebut telah lenyap dari otak dan hati, tanda-tanda keberadaannya telah hilang dan terhapus dari kehidupan manusia, baik kehidupan individu maupun kelompok, kecuali orang yang dirahmati oleh Allah, dan mereka ini sedikit sekali. Apa yang tertinggal dalam diri kita hanyalah seluruh gambaran yang kita lihat dalam halaman kenyataan ini, sebagai bukti bahwa iman yang benar telah lenyap dari masyarakat kita, dan aqidah tersebut telah lenyap dari hati, atau minimal telah goyah. Inilah lembaran sejarah masa kini yang berkisah seraya menangisi kondisi dan keadaan terakhir umat manusia, yang kegelapannya hampir-hampir melupakan kita dari cahaya yang pernah kita lihat ketika menyaksikan saat-saat singkat kehidupan dalam era terbaik dan generasi terbaik umat Islam.

G. PENYIMPANGAN AQIDAH DAN PENANGGULANGANNNYA
Sebab-Sebab Penyimpangan dari Aqidah Shahihah, yaitu:
1. Kebodohan terhadap aqidah shahihah
Karena tidak mau mempelajari dan mengajarkannya, atau karena kurangnya perhatian terhadapnya. Sehingga tumbuh generasi yang tidak mengenal aqidah shahihah dan juga tidak mengetahui lawan atau kebalikannya. Akibatnya, mereka menyakini yang haq sebagai sesuatu yang batil dan yang batil dianggap sebagai yang haq. Sebagaimana yang dikatakan oleh Umar bin Khatab radliyallahu ’anhu : ” Sesungguhnya ikatan simpul Islam akan pudar satu demi satu manakala di dalam Islam terdapat orang yang tumbuh tanpa mengenal kejahiliyahan”.
2. Ta’ashshub (fanatik)
Kepada sesuatu yang diwarisi dari bapak dan nenek moyangnya, sekalipun hal itu batil, dan mencampakkan apa yang menyalahinya, sekalipun hal itu benar. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 170

3. Taqlid Buta
Dengan mengambil pendapat manusia dalam masalah aqidah tanpa megetahui dalilnya dan tanpa menyelidiki seberapa jauh kebenarannya.
4. Ghuluw (berlebihan)
Dalam mencintai para wali dan orang-orang shalih, serta mengangkat mereka di atas derajat yang semestinya, sehingga menyakini pada diri mereka sesuatu yang tidak mampu dilakukan kecuali oleh Allah, baik berupa mendatangkan kemanfaatan maupun meolak kemudharatan. Juga menjadikan para wali itu perantara antara Allah dan makhlukNya, sehingga sampai pada tingkat penyembahan para wali tersebut dan bukan menyembah Allah.
5. Ghaflah (lalai)
Terhadap perenungan ayat-ayat Allah yang terhampar di jagat raya ini (ayat-ayat kauniyah) dan ayat-ayat Allah yang tertuang dalam kitabNya (ayat-ayat Qura’niyah). Di samping itu, juga terbuai dengan hasil teknologi dan kebudayaan, sampai-sampai mengira bahwa itu semua adalah hasil kreasi manusia semata, sehingga mereka mengagung-agungkan manusia dan menisbatkan seluruh kemajuan ini kepada jerih payah dan penemuan manusia semata. Pada umumnya rumah tangga sekarang ini kosong dari pengarahan yang benar menurut Islam.
6. Enggannya media pendidikan dan media informasi melaksanakan tugasnya
Kurikulum pendidikan kebanyakan tidak memberikan perhatian yang cukup terhadap pendidikan agama Islam, bahkan ada yang tidak peduli sama sekali. Sedangkan media informasi, baik cetak maupun elektronik berubah menjadi sarana penghancur dan perusak, atau paling tidak hanya memfokuskan pada hal-hal yang bersifat meteri dan hiburan semata. Tidak memperhatikan hal-hal yang dapat meluruskan moral dan menanamkan aqidah serta menangkis aliran-aliran sesat.

Cara-cara penanggulangan penyimpangan aqidah adalah dengan :
1. Kembali pada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shalallahu ’alaihi wa sallam
Untuk mengambil aqidah shahihah. Sebagaimana para Salafush Shalih mengambil aqidah mereka dari keduanya. Tidak akan dapat memperbaiki akhir umat ini kecuali apa yang telah memperbaiki umat terdahulunya. Juga dengan mengkaji aqidah golongan yang sesat dan mengenal syubuhat-syubuhat mereka untuk kita bantah dan kita waspadai, karena siapa yang tidak mngenal keburukan, ia dikhawatirkan terperosok ke dalamnya.
2. Memberi perhatian pada pengajaran aqidah shahihah, aqidah salaf, di berbagai jenjang pendidikan.
Memberi jam pelajaran yang cukup serta mengadakan evaluasi yang ketat dalam menyajikan materi ini.
3. Harus ditetapkan kitab-kitab salaf yang bersih sebagai materi pelajaran. Sedangkan kitab-kitab kelompok penyeleweng harus dijauhkan.
4. Menyebar para da’i yang meluruskan aqidah umat Islam
Dengan mengajarkan aqidah salaf serta menjawab dan menolak seluruh aqidah batil.(Kitab Tauhid 1, Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah al Fauzan)
Aqidah atau keimanan adalah suatu keyakinan seseorang yang diwujudkan dengan membenarkan dengan hati kita sendiri, menyatakan dengan lisan dan membuktikannya dengan seluruh amal perbuatan. Orang yang benar-benar beriman itu, terkandung di dalam Qs.AL-Hujurat ayat 15.
Orang beriman wajib juga percaya kepada AL-Quran, Malaikat, Hari akhir, qodlo dan qodar. Karena semua itu merupakan perangkat dalam seting kehidupan.
Orang beriman seharusnya menyadari bahwa didalam berperilaku senantiasa dihadapkan kepada keuntungan atau kerugian, secara lahir dan batin, yang berakibat keuntungan lahiriah (materi) dan batiniah (pahala), maka setiap orang yang beriman adalah orang yang memiliki komitmen dan tekat yang bulat (commitment and determination), untuk memperoleh keberuntungan dari pencipta kehidupan,yakni Allah dan untuk itu Allah menjamin sebagaimana ketetapannya dalam Qs-AL Muminuun [23] ayat 1,
Allah menetapkan sungguh beruntung orang-orang yang beriman, karena itu orang beriman selalu optimis sebabnya selalu akan memperoleh keberuntungan, ketika mendapat musibah ia bersabar karena yakin bahwa musibah adalah rencana Allah untuk meningkatkan derajatnya atau merupakan peringatan untuk perbaikan dirinya.
Dalam AL-Quran Surat at-Tahrim ayat 6,diJelaskan bahwa orang yang beriman diperintahkan untuk : “ Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka ”. Ayat ini menekankan orang yang beriman untuk menimpa berupa harta dan pahala.
Orang beriman senantiasanya mengembangkan sikap “tolerance for risk, ambiguity, and uncertainty”, karena ia mempunyai penjamin kulitas (quality assurance) sandaran keyakinan yang tidak mungkin dapat disaingi oleh siapapun, ia merasa aman bersamanya. Orang beriman selalu rindu, cinta, senang bersama Allah, ia selalu melatih diri untuk membesarkannya dengan shalat yang khusuk, tahajud di dua pertiga malam merupakan target mencapai “maqomam mahmuda” tempat yang terpuji.
Untuk memelihara diri dan keluarga serta untuk memudahkan meringankan kehidupan, islam memiliki syariat atau jalan hidup diantaranya adalah menegakan shalat. Rassulullaah menyatakan bahwa shalat itu adalah tiang agama, maka barang siapa yang menegakkannya ia menegakkan agama, barang siapa yang meninggalkannya ia meruntuhkan agama. Dalam sabda yang lain Rasullullah SAW juga menyatakan batas keimanan seseorang dengan kekafirannya adalah meninggalkan shalat. Dalam kehidupan dunia, shalat merupakan penentu, yakni orang yang dapat shalat dengan khusuk, tawadlu,dalam membesarkan Allah selama melaksanakan shalat, maka makna shalat yakni Ingat kepada Allah dan membesarkannya akan selalu tegak dalam kehidupan sehari-hari setiap saat dalam berbagai kondisi dan situasi, sehingga mencapai apa yang diharapkan Allah yakni terkandung dalam Q.S. Ali Imran [3] ayat 191,

H. TUJUAN AQIDAH DALAM ISLAM

Akidah Islam mempunyai banyak tujuan yang baik yang harus dipegang teguh, yaitu :
1. Untuk mengihlaskan niat dan ibadah kepada AllahI semata. Karena Dia adalah pencipta yang tidak ada sekutu bagiNya, maka tujuan dari ibadah haruslah diperuntukkan hanya kepadaNya.

2. Membebaskan akal dan pikiran dari kekacauan yang timbul dari kosongnya hati dari akidah. Karena orang yang hatinya kosong dari akidah ini, adakalanya kosong hatinya dari setiap akidah serta menyembah materi yang dapat di indera saja dan adakalanya terjatuh pada berbagai kesesatan akidah dan khurafat.

3. Ketenangan jiwa dan pikiran, tidak cemas dalam jiwa dan tidak goncang dalam pikiran. Karena akidah ini akan menghubungkan orang mukmin dengan Penciptanya lalu rela bahwa Dia sebagai Tuhan yang mengatur, Hakim yang membuat tasyri'. Oleh karena itu hatinya menerima takdir-Nya, dadanya lapang untuk menyerah lalu tidak mencari pengganti yang lain.

4. Meluruskan tujuan dan perbuatan dari penyelewengan dalam beribadah kepada Allah dan bermuamalah dengan orang lain. Karena diantara dasar akidah ini adalah mengimani para Rasul, dengan mengikuti jalan mereka yang lurus dalam tujuan dan perbuatan.

5. Bersungguh-sungguh dalam segala sesuatu dengan tidak menghilangkan kesempatan beramal baik, kecuali digunakannya dengan mengharap pahala. Serta tidak melihat tempat dosa kecuali menjauhinya dengan rasa takut dari siksa. Karena diantara dasar akidah ini adalah mengimani kebangkitan serta balasan terhadap seluruh perbuatan.

"Dan masing-masing orang memperoleh derajat-derajat (sesuai) dengan yang dikerjakannya. Dan Tuhanmu tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan." (QS. Al An'am : 132).

Nabi Muhammad SAW juga menghimbau untuk tujuan ini dalam sabdanya :

"Orang mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada orang mukmin yang lemah. Dan pada masing-masing terdapat kebaikan. Bersemangatlah terhadap sesuatu yang berguna bagimu serta mohonlah pertolongan dari Allah dan janganlah lemah. Jika engkau ditimpa sesuatu, maka jaganlah engkau katakan : seandainya aku kerjakan begini dan begitu. Akan tetapi katakanlah : itu takdir Allah dan apa yang Dia kehendaki dia lakukan. Sesungguhnya mengada-ada itu membuka perbuatan setan." ( HR. Muslim)

6. Menciptakan umat yang kuat yang mengerahkan segala yang mahal maupun yang murah untuk menegakkan agamanya serta memperkuat tiang penyanggahnya tanpa peduli apa yang akan terjadi untuk menempuh jalan itu.

"Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan RasulNya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang –orang yang benar." (QS. Al Hujurat : 15).

7. Meraih kebahagiaan dunia dan akhirat dengan memperbaiki individu-individu maupun kelompok-kelompok serta meraih pahala dan kemuliaan. (QS. An Nahl 97)


I. WASIAT AQIDAH IMAM SAYFI’I

• Imam Syafi’i, begitulah orang-orang menyebut dan mengenal nama ini, begitu lekat di dalam hati, setelah nama-nama seperti Khulafaur Rasyidin. Namun sangat disayangkan, orang-orang mengenal Imam Syafi’i hanya dalam kapasitasnya sebagai ahli fiqih. Padahal beliau adalah tokoh ahlus sunnah wal jamaah dengan multi keahlian. Karena itu, ketika memasuki Baghdad, beliau dijuluki Nashirul Hadits (pembaharu) pada abad kedua Hijriah. (Siar A’lam, 10/5-6; 46 dan Tadzkiratul Huffazh, 1/361)
• Dalam hal aqidah, Imam Syafi’i memiliki wasiat yang berharga. Muhammad bin Ali bin Shabbah Al Baldani berkata: “Inilah Imam Syafi’i yang diberikan kepada para sahabatnya, ‘Hendaklah anda bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah Yang Maha Esa, yang tiada sekutu bagi-Nya. Dan sesungguhnya Muhammad bin Abdullah adalah hamba dan Rasul-Nya. Kami tidak membedakan para Rasul antara satu dengan yang lain. Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah semata, Tuhan semesta alam yang tiada bersekutu dengan sesuatupun. Untuk itulah aku diperintah, dan saya termasuk golongan orang yang menyerahkan diri kepada-Nya. Sesungguhnya Allah membangkitkan orang dari kubur dan sesungguhnya surga itu haq, azab neraka itu haq, hisab itu haq, dan timbangan amal serta jembatan itu haq dan benar adanya. Allah SWT membalas hamba-hamba-Nya sesuai dengan amal perbuatannya. Di atas keyakinan ini aku hidup dan mati, dan dibangkitkan lagi insya Allah. Sesungguhnya Al Quran itu kalam Allah, bukan makhluk ciptaan-Nya. Sesungguhnya Allah di hari akhir nanti akan dilihat oleh orang-orang mukmin dengan mata telanjang, jelas, terang tanpa ada suatu penghalang, dan mereka mendengar firman-Nya, sedangkan Dia berada di atas ‘Arsy. Sesungguhnya takdir, baik buruknya adalah berasal dari Allah Yang Maha Perkasa dan Maha Agung. Tidak terjadi sesuatu kecuali apa yang Allah kehendaki dan Dia tetapkan dalam qadha’ dan qadar-nya.
• Sesungguhnya sebaik-baik manusia setelah Baginda Rasul Saw adalah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali ra. Aku mencintai dan setia kepada mereka, dan memohon ampun mereka, bagi pengikut perang Jamal dan Shiffin, baik yang membunuh maupun yang terbunuh, dan bagi segenap Nabi. Kami setia kepada pemimpin negara Islam (yang berdasarkan Al Quran dan As Sunnah) selama mereka mendirikan shalat. Tidak boleh membangkang serta memberontak kepada mereka dengan senjata. Kekhalifahan (kepemimpinan) berada di tangan orang Quraisy. Dan sesungguhnya setiap yang banyaknya memabukkan, maka sedikitnya pun diharamkan. Dan nikah mut’ah adalah haram.
• Aku berwasiat kepadamu dengan taqwa kepada Allah, konsisten dengan sunnah dan atsar dari Rasulullah Saw dan para sahabatnya. Tinggalkanlah bid’ah dan hawa nafsu. Bertaqwalah kepada Allah sejauh yang engkau mampu. Ikutilah shalat Jumat, jamaah dan sunnah (Rasul). Berimanlah dan pelajarilah agama ini. Siapa yang mendatangiku di waktu ajalku tiba, maka bimbinglah aku membaca “Laa ilaaha illallaah wahdahu laa syarikalahu wa anna muhammadan ‘abduhu warasuluh.”
• Di antara yang diriwayatkan Abu Tsaur dan Abu Syu’aib tentang wasiat Imam Syafi’i adalah, ‘Aku tidak mengkafirkan seseorang dari ahli tauhid dengan sebuah dosa, sekalipun mengerjakan dosa besar, aku serahkan mereka kepada Allah Azza wa Jalla dan kepada takdir serta iradah-Nya, baik atau buruknya, keduanya adalah makhluk, diciptakan atas para hamba dari Allah SWT, siapa yang dikehendaki menjadi kafir, kafirlah dia, dan siapa yang dikehendaki-Nya menjadi mukmin, mukminlah dia. Tetapi Allah SWT tidak ridha dengan keburukan dan kejahatan dan tidak memerintahkan atau menyukainya. Dia memerintahkan ketaatan, mencintai dan meridhainya. Orang yang dari umat Muhammad masuk surga bukan karena kebaikannya (tetapi karena rahmat-Nya). Dan orang jahat masuk neraka bukan karena kejahatannya semata. Dia menciptakan makhluk berdasarkan keinginan dan kehendak-Nya, maka segala sesuatu dimudahkan bagi orang yang diperuntukkannya, sebagaimana yang terdapat dalam Hadits (riwayat Al Bukhari, Muslim dan lainnya).
• Aku mengakui hak salaf yang dipilih oleh Allah SWT untuk menyertai Nabi-Nya, mengambil keutamaannya. Aku menutup mulut dari apa yang terjadi di antara mereka, pertentangan ataupun peperangan baik besar maupun kecil. Aku mendahulukan Abu Bakar, kemudian Umar, kemudian Utsman, kemudian Ali ra. Mereka adalah Khulafaur Rasyidin. Aku ikat hati dan lisanku, bahwa Al Quran adalah kalamullah yang diturunkan bukan makhluk yang diciptakan. Sedangkan mempermasalahkan lafazh (ucapan seseorang yang melafazkan Al Quran apakah makhluk atau bukan) adalah bid’ah. Iman adalah ucapan dan amalan yang mengalami pasang dan surut. (Al Amru bil Ittaba’, As Suyuthi, hal 152-154, tahqiq Mustofa Asyur, ijtima’ul Juyusyil Islamiyah, Ibnul Qayyim, 165)

• Kesimpulan dari wasiat di atas adalah:
1. Aqidah Imam Syafi’i adalah ahlus sunnah wal jamaah.
2. Sumber aqidah Imam Syafi’i adalah Al Quran, As Sunnah. Beliau pernah mengucapkan: “Sebuah ucapan seperti apapun tidak akan pasti (tidak diterima) kecuali dengan (dasar) kitabullah atau sunnah Rasul-Nya. Dan setiap yang berbicara tidak berdasarkan Al Kitab dan As Sunnah maka ia adalah mengigau (membual, tidak ada artinya). Wallahu a’lam.” (Manaqibusy Syafi’i 1/470 & 475)
3. Manhaj Imam Syafi’i dalam aqidah menetapkan apa yang ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya, dan menolak apa yang ditolak oleh Allah dan Rasul-Nya. Karena itu beliau menetapkan sifat istiwa’ (Allah bersemayam di atas), ru’yatul mukminin lirrabbihim (orang mukmin melihat Tuhannya) dan lain sebagainya.
4. Dalam hal sifat-sifat Imam Syafi’i mengimani makna lahirnya lafazh tanpa takwil (meniadakan makna tersebut) apalagi ta’thil (membelokkan maknanya). Beliau berkata “Hadits itu berdasarkan lahirnya. Dan jika ia mengandung makna lebih dari satu, maka makna yang lebih mirip dengan lahirnya itu yang lebih utama.” (Al Mizanul Kubra, 1/60, Ijma’ Juyusy, 95)
Imam Syafi’i pernah ditanya tentang sifat-sifat Allah yang harus diimani, maka beliau menjawab, “Allah memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang telah dikabarkan oleh kitab-Nya dan dijelaskan oleh Nabi-Nya kepada umatnya. Tidak seorang pun boleh menolaknya setelah hujjah (keterangan) sampai kepadanya karena Al Quran turun dengan membawa nama-nama dan sifat-sifat itu. Maka barang siapa yang menolaknya setelah tegaknya hujjah, ia adalah kafir. Adapun sebelum tegaknya hujjah, ia adalah ma’dzur (diampuni) karena kebodohannya, sebab hal (nama-nama dan sifat-sifat Allah) itu tidak bisa diketahui dengan akal dan pemikiran. Allah memberitahukan bahwa Dia memiliki sifat “Yadaini” (dua tangan), dengan firman-Nya: “Tetapi kedua tangan Allah terbuka” (QS. Al Maidah: 64). Dia memiliki wajah, dengan firman-Nya: “Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali wajah-Nya.” (QS. Al Qashash: 88).” (Manaqib Asy Syafi’i, Baihaqi, 1/412-413; Ushull’tiqad Ahlis Sunnah, Al Lalikai, 2/702; Siar A’lam An Nubala, 10/79-80; Ijtima’ Al Juyusy Al Islamiyah, Ibnu Qayyim, 94)
5. Kata-kata “As Sunnah” dalam ucapan dan wasiat Imam Syafi’i dimaksudkan untuk tiga arti. Pertama, adalah apa saja yang diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah (berarti lawan dari bid’ah). Kedua, adalah aqidah shahihah yang disebut juga tauhid (lawan dari kalam atau ra’yu). Berarti ilmu tauhid adalah bukan ilmu kalam begitu juga sebaliknya. Imam Syafi’i berkata: “Siapa yang mendalami ilmu kalam, maka seakan-akan ia telah menyelam ke dalam samudera ketika ombak sedang menggunung.” (Al Mizanul Kubra, Asy Sya’rani, 1/60). Ketiga, As Sunnah dimaksudkan sebagai sinonim dari hadits yaitu apa yang datang dari Rasulullah selain Al Quran.
6. Ahlus Sunnah disebut juga oleh Imam Syafi’i dengan sebutan Ahlul Hadits. Karena itu beliau juga berwasiat, “Ikutilah Ahlul Hadits, karena mereka adalah manusia yang paling banyak benarnya.” (Al Adab Asy Syar’iyah, Ibnu Muflih, 1/231). “Ahli Hadits di setiap zaman adalah bagaikan sahabat Nabi.” (Al Mizanul Kubra, 1/60).
• Di antara Ahlul Hadits yang diperintahkan oleh Imam Syafi’i untuk diikuti adalah Imam Ahmad bin Hambal, murid Imam Syafi’i sendiri yang menurut Imam Nawawi: “Imam Ahmad adalah imamnya Ashabul Hadits, imam Ahli Hadits.” (Al Majmu’, 1/10).
• Itulah beberapa wasiat Imam Syafi’i tentang aqidah Islamiyah, semoga hal tersebut bisa kita jadikan pelajaran dalam kehidupan kita.


PENUTUP

A. ARSIP AYAT AL-QURAN

o QS. AL-KAHFI
-AYAT 110
o QS. AL-ZUMAR
-AYAT 65
-AYAT 2
-AYAT 3
o QS. AN NAHL
-AYAT 36

-AYAT 97

Artinya:"Barangsiapa yang mengerjakan amal baik, baik lelaki maupun wanita dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang paling baik dari apa yang telah mereka kerjakan."

o QS. AL A’RAF
- AYAT 59
-AYAT 65
-AYAT 73
-AYAT 85
o AL BAQARAH
-AYAT 170
artinya”Dan apabila dikatakan kepada mereka, ’ikutilah apa yang telah diturunkan Allah ’, mereka menjawab, ’(tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.’ (Apakah mereka akan mengikuti juga ), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?”

oQS. AL HUJARAT
-AYAT 15
إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ ثُمَّ لَمۡ يَرۡتَابُواْ وَجَـٰهَدُواْ بِأَمۡوَٲلِهِمۡ وَأَنفُسِهِمۡ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ‌ۚ أُوْلَـٰٓٮِٕكَ هُمُ ٱلصَّـٰدِقُونَ (١٥)

Artinya“ Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, Mereka itulah orang-orang yang benar ”.

o QS. AL MUMINUUN
-AYAT 23
o QS. AT TAHRIM
-AYAT 6
o QS. AL IMRAN
-AYAT 191
yang artinya : “orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi : “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”.

o QS. AL- AN’AM
-AYAT 132
o QS. AT TAUBAH
-AYAT 127

B. KESIMPULAN
1. Sejak jaman Rasulullah hingga saat ini, aqidah Islamiyah sudah berkembang dengan begitu luas. Beberapa orang masih tetap kuat dalam menjalankan aqidah tersebut, dengan terus melakukan perbuatan-perbuatan yang memang terdapat dalam Al Quran dan Al Hadits. Sedangkan beberapa orang yang lain, karena suatu hal, mereka mulai terkikis aqidahnya, sehingga beberapa dari mereka memutuskan untuk mengikuti aqidah yang mereka yakini benar, tapi tidak selalu berjalan sesuai dengan Al Quran dan Al Hadits.
2. Jika manusia mulai menyimpang dalam menjalankan aqidah mereka, jika mereka salah dalam mempercayai sesuatu, maka hal tersebut akan berakibat kesengsaraan pada kehidupannya, baik di dunia maupun di akhirat. Hal ini disebabkan karena mereka akan selalu dipenuhi dengan keragu-raguan, mereka akan berjalan tanpa arah yang jelas, mereka tidak lagi memiliki pedoman yang benar dan kuat dalam menjalankan kehidupan mereka, yang tentunya hal tersebut sangat berbahaya.
3. Dalam menyikapi adanya penyimpangan terhadap aqidah tersebut, maka kembali kepada Al Quran dan Al Hadits merupakan satu-satunya cara agar kehidupan kita kembali ke jalan yang lurus, ke jalan yang benar, jalan yang diridhai oleh Allah. Kita juga harus mengetahui mana aqidah yang benar dan mana yang sesat agar kita tidak terperosok masuk ke dalam aqidah yang tidak sesuai dengan Allah dan Rasul-Nya.
4. Aqidah Islam merupakan aqidah yang istimewa, karena sumbernya berasal dari Allah. Oleh karena itu, aqidah Islam adalah aqidah yang kesempurnaannya tidak perlu diragukan lagi, karena Islam adalah aqidah, dan bukan Filsafat yang diciptakan oleh manusia sehingga memiliki banyak kelemahan.
5. Dengan mempelajari aqidah Islamiyah, kita akan terhindar dari perbuatan penghambaan kepada selain Allah, selain kita juga akan merasa tenang karena kita yakin bahwa Allah akan selalu bersama kita. Aqidah Islamiyah juga bukan ajaran yang mengkotak-kotakkan manusia ke dalam tingkatan-tingkatan tertentu, karena dalam aqidah Islam, orang yang paling tinggi derajatnya di hadapan Allah bukanlah orang yang paling kaya, paling tampan, paling pandai, paling putih kulitnya, tapi orang yang paling tinggi derajatnya di hadapan Allah adalah mereka yang memiliki tingkat ketakwaan tertinggi di antara sesamanya.
6. Salah satu imam besar Islam, yaitu Imam Syafi’i, memberikan wasiat tentang aqidah Islamiyah, di mana hal yang paling pokok dan utama adalah dengan menekankan tauhid, yaitu kita yakin bahwa tidak ada Tuhan kecuali hanyalah Allah Yang Esa.

C. ANALISA KRITIS

• Dari pembahasan yang penyusun paparkan di atas, penyusun mengambil pendapat bahwa negara Indonesia, yang mengakui adanya lima agama yang berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa yang tercantum dalam Pancasila sebagai dasar negara Indonesia, telah terbukti secara nyata memiliki dasar yang menyimpang dengan aqidah Islamiyah. Meskipun jelas bahwa negara Indonesia berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, tapi ke-Esa-an Tuhan di sini juga masih harus dipertanyakan. Dalam Islam, sudah jelas, bahwa dengan keyakinan yang pasti bahwa adanya ke-Esa-an Allah yang mutlak, maka tidak ada Tuhan yang lain selain Allah. Oleh karena itu, jika negara Indonesia menghendaki aqidah Islamiyah yang benar, maka sudah seharusnya dilakukan perubahan terhadap dasar negara kita dengan hanya mencantumkan aqidah Islamiyah sebagai satu-satunya aqidah yang berlaku di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1990, Al Quran dan Terjemahannya, Mujamma’ Al Malik Fahd Li Thiba’at Al Mush-haf Asy Syarif, Medinah Munawwarah
Ibrahim, Najih, Dr., dkk., 2005, Mitsaq Amal Islami, Panduan Bagi Gerakan Islam dalam Memperjuangkan Islam, Pustaka Al 'Alaq, Solo.
Matdawam, M.N., Drs., 1989, Pembinaan dan Pemantapan Dasar Agama, Yayasan “Bina Karier”, Yogyakarta.
Sauri, Sofyan, Dr., H., 2004, Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi, Alfabeta, Bandung.
Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan, Dr., 2004, Edisi Indonesia: Kitab Tauhid 1, Darul Haq, Jakarta.
Suryana Af, A.T., Drs., M.Pd., dkk., 1997, Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi, Tiga Mutiara, Bandung.
Tim penyusun Pustaka Al Wustho, 1994, Bekal Da’i Aktivis Muslim, Pustaka Al Wustho, Solo.

Read More

tianahalawa. Diberdayakan oleh Blogger.